Dalam dunia pesantren, kalimat Wallahu a’lam bish-shawab bukanlah hal yang asing. Kalimat ini memiliki makna yang dalam, yaitu “Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sebenarnya”. Tradisi penggunaan kalimat ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam lingkungan pesantren.
Penggunaan kalimat Wallahu a’lam pada dasarnya adalah sebagai jawaban saat seseorang ditanya tentang suatu permasalahan ilmu yang tidak diketahuinya. Hal ini sesuai dengan wasiat dari sahabat Abdullah bin Mas’ud yang mengatakan bahwa jika seseorang tidak mengetahui jawaban suatu pertanyaan ilmu, hendaknya ia menjawab dengan Wallahu a’lam.
Para ulama juga menggunakan kalimat Wallahu a’lam sebagai kode etik dalam menutup fatwa mereka. Selain itu, kalimat Wallahul muwaffiq (hanya Allah yang memberikan petunjuk) dan sejenisnya juga digunakan sebagai penutup penjelasan mengenai permasalahan yang disepakati oleh ulama Ahlusunnah wal Jama’ah.
Dalam beberapa penjelasan di kitab-kitab mereka, para ulama juga sering menggunakan kalimat Wallahu a’lam bish-shawab sebagai penutup. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kerendahan hati para ulama dan upaya untuk melepas beban pengetahuan kepada Allah.
Menurut ulama mazhab Syafi’i, penggunaan kalimat Wallahu a’lam bish-shawab juga memiliki tujuan tertentu, yaitu untuk menunjukkan bahwa hanya Allah yang benar-benar mengetahui segala hal. Namun, di kalangan ulama mazhab Hanafi, penggunaan kalimat ini dengan tujuan sebagai penutup pengajian dianggap makruh. Namun, jika diniatkan sebagai dzikir, maka dihukumi sunnah.
Dalam segala hal, penggunaan kalimat Wallahu a’lam bish-shawab oleh para ulama memiliki makna yang mendalam. Hal ini merupakan bentuk kerendahan hati, pengakuan terhadap keterbatasan ilmu, serta upaya untuk melepas beban pengetahuan kepada Allah. Dalam berfatwa atau menjelaskan ilmu, para ulama tetap mengedepankan hukum-hukum lahiriah namun menyadari bahwa hanya Allah lah yang mengetahui segala hal yang tersembunyi.