Pada peringatan hari ulang tahun Indonesia yang ke-75, Bank Indonesia merilis uang kertas pecahan 75 ribu rupiah dalam edisi khusus sebagai commemorative money. Penerbitan ini bertujuan untuk memperingati momen penting dalam sejarah nasional atau internasional. Dalam konteks Indonesia, perayaan usia 75 tahun kemerdekaan dianggap istimewa dan patut disyukuri.
Sejarah mencatat bahwa dalam Islam, momen-momen spesial juga sering diperingati, seperti Tahun Gajah dan ‘Am al-Huzn. Di tengah situasi Indonesia yang diwarnai oleh pandemi Covid-19 dan usia 75 tahun kemerdekaan, penerbitan uang pecahan 75 ribu rupiah ini menjadi simbol perjuangan dan momen penting yang patut diabadikan.
Meskipun memiliki nilai sejarah dan kekayaan budaya, muncul pertanyaan apakah mata uang pecahan 75 ribu rupiah ini dapat dijualbelikan. Beberapa marketplace menawarkan UPK 75 ribu dengan harga jauh di atas nilai nominalnya.
Menurut Imam al-Ghazali, uang memiliki fungsi sebagai alat tukar dan penyimpan nilai. Dalam konteks ini, pandangan terbagi menjadi dua. Pertama, bahwa UPK 75 ribu rupiah adalah komoditas dan dapat dijualbelikan. Kedua, bahwa UPK tersebut seharusnya beredar tanpa batasan jumlah sehingga menahannya sebagai barang antik dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan utama uang.
Dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam penerbitan UPK 75 ribu rupiah, terdapat kontroversi apakah mata uang ini seharusnya dijadikan komoditas atau tetap berfungsi sebagai alat tukar utama negara. Hal ini menjadi pembahasan menarik dalam ranah ekonomi dan keuangan yang perlu dicermati lebih lanjut.