Dalam lingkup masyarakat, terkadang kita menemui transaksi yang melibatkan jual beli kulkas antara individu yang saling mengenal. Transaksi semacam ini memunculkan pertanyaan dalam literasi para ulama fiqih mengenai kesahihan dan kesesuaian syariat Islam.
Dalam mazhab Syafi’i, terdapat beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam transaksi semacam ini. Pertama, adanya janji dari pembeli kepada penjual mengenai pembelian kulkas di masa depan. Janji ini merupakan syarat dalam transaksi tersebut. Kedua, barang yang akan dibeli belum berada di pihak penjual, namun sudah dipilih oleh pembeli.
Dalam konteks ini, terdapat tiga kemungkinan akad yang dapat terjadi. Pertama, penjual membeli barang dan kemudian menjualnya kepada pembeli dengan harga yang disepakati. Kedua, penjual meminta pembeli untuk membeli barang atas nama penjual, kemudian terjadi transaksi jual beli setelah barang diterima oleh penjual. Ketiga, penjual memberikan uang kepada pembeli untuk membeli barang, namun karena ketidakpastian kepemilikan barang dan kondisi gharar yang tinggi, transaksi semacam ini tidak sah menurut Imam Nawawi.
Dalam kasus ketiga, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa informasi saja mengenai pembelian barang sudah cukup, namun hal ini dianggap lemah dan tidak dianjurkan. Mazhab Syafi’i menekankan pentingnya qabdlu hakiki dalam transaksi jual beli.
Dalam situasi darurat, masyarakat setempat dapat mempertimbangkan kebolehan suatu transaksi dengan memperhatikan maslahah dan ketentuan syariat. Transaksi semacam jual beli kulkas dalam lingkup kebutuhan dasar manusia perlu diperhatikan dengan cermat sesuai dengan kriteria fiqih mazhab Syafi’i.
Penting untuk selalu memperhatikan prinsip-prinsip syariat Islam dalam setiap transaksi jual beli agar dapat menjaga keabsahan dan kesesuaiannya dengan ajaran agama.