Sebagian kelompok dalam komunitas Muslim sering kali menyoroti perbedaan antara sistem bermazhab dengan Al-Qur’an dan hadits. Mereka terkadang berupaya meyakinkan masyarakat bahwa kembali kepada Al-Qur’an dan hadits secara langsung adalah langkah yang lebih tepat. Bahkan, kelompok yang skeptis terhadap mazhab sering kali menggunakan perkataan para imam mazhab untuk menentang ajaran yang dibangun berdasarkan mazhab tersebut.
Salah satu contoh kasus yang sering dibahas adalah pengutipan ucapan Imam Syafi’i. Dalam pernyataannya, Imam Syafi’i menyampaikan bahwa ketika sebuah hadits shahih ditemukan, maka itulah mazhabnya. Hal ini menunjukkan sikap terbuka Imam Syafi’i terhadap hadits yang berasal dari berbagai sumber, baik itu dari dataran Hijaz, Syam, Iraq, Mesir, atau daerah lainnya.
Ucapan Imam Syafi’i ini menjadi sorotan karena mencerminkan tiga keunggulan utama dalam pendekatannya terhadap hadits. Pertama, keterbukaannya dalam menerima hadits dari berbagai latar belakang ulama. Kedua, kesiapannya menerima dalil hadits meskipun berderajat Ahad asalkan memiliki derajat shahih. Dan ketiga, kesediaannya untuk mengubah hasil ijtihadnya jika hadits shahih yang diterimanya tidak memiliki kelemahan tertentu.
Namun, penting untuk dipahami bahwa ucapan Imam Syafi’i ini seharusnya ditujukan kepada murid-muridnya dan para ulama lain yang memiliki kemampuan ijtihad yang memadai, bukan kepada masyarakat umum. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas dalam menafsirkan dan menerapkan hadits shahih, seperti dalam kasus penafsiran tentang shalat jama’ yang memerlukan pertimbangan ulama fiqih yang mendalam.
Setelah masa Imam Syafi’i, hanya para ulama fiqih dari mazhab Syafi’i yang memiliki kapasitas ijtihad yang memadai untuk menganalisis hadits shahih dengan memfatwakan hukum yang sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa menafsirkan hadits shahih memerlukan pemahaman yang mendalam dan tidak semata-mata berdasarkan pada keberadaan hadits shahih itu sendiri.
Dalam kesimpulannya, ungkapan Imam Syafi’i tentang hadits shahih mencerminkan semangat belajar dan ketaatan terhadap sunnah Nabi. Namun, hal ini juga menegaskan bahwa penafsiran hadits shahih memerlukan pemahaman yang mendalam dan tidak semata-mata berdasarkan pada keberadaan hadits shahih itu sendiri.