Hari raya Idul Adha merupakan momen penting bagi umat Muslim di seluruh dunia untuk melaksanakan ibadah kurban. Ibadah ini tidak hanya sekadar kewajiban, tetapi juga memiliki nilai hikmah yang sangat besar bagi umat Muslim.
Salah satu nilai hikmah dari ibadah kurban adalah spirit berbagi kebahagiaan kepada sesama, terutama kepada yang membutuhkan. Selain itu, ibadah ini juga dapat mempererat tali persaudaraan di antara umat Muslim serta menanamkan rasa kasih sayang di antara mereka.
Namun, penting untuk dicatat bahwa ibadah kurban hanya dianjurkan bagi orang-orang yang mampu melakukannya. Orang yang dianggap mampu adalah orang yang memiliki dana lebih dari kebutuhan pokoknya dan orang-orang yang wajib dia nafkahi, selama periode hari raya kurban dan tiga hari setelahnya.
Dalam menentukan batasan orang yang mampu berkurban, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Beberapa ulama mensyaratkan harta yang digunakan untuk berkurban melebihi kebutuhan nafkah wajib hanya pada hari raya kurban, sementara yang lain mengatakan bahwa harta tersebut harus melebihi kebutuhan nafkah pada hari raya dan malamnya.
Selain itu, orang yang wajib dinafkahi termasuk fakir miskin yang membutuhkan sandang-pangan, meskipun bukan dari kerabatnya. Oleh karena itu, seseorang dianggap mampu berkurban jika memiliki dana kurban yang melebihi tanggung jawab nafkah kaum dluafa.
Kurban sebagai ibadah sunnah, sementara memenuhi kebutuhan darurat kaum lemah adalah ibadah wajib. Oleh karena itu, prioritas antara kedua hal tersebut harus dipahami dengan baik, dengan mendahulukan ibadah wajib atas ibadah sunnah.
Dapat disimpulkan bahwa orang yang dianggap mampu berkurban adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan dirinya dan orang-orang yang wajib dinafkahi seperti keluarga dan fakir miskin yang membutuhkan. Durasi kecukupan harta tersebut juga menjadi perdebatan di antara ulama, namun intinya adalah harta tersebut harus cukup untuk memenuhi kebutuhan pada hari raya kurban hingga akhir hari tasyriq.