Ibadah kurban merupakan salah satu ibadah yang memiliki keutamaan serta pahala besar dalam agama Islam. Manfaat dari berkurban tidak hanya dirasakan oleh pelaku kurban sendiri, tetapi juga dapat dirasakan oleh orang lain di sekitarnya.
Dalam mazhab Syafi’i, hukum berkurban dibedakan berdasarkan status seseorang. Bagi yang tidak atau belum memiliki keluarga, hukum berkurban adalah sunah ‘ain atau disunahkan secara individual. Namun, bagi yang sudah memiliki keluarga, hukum berkurban adalah sunah kifayah atau disunahkan secara kolektif. Artinya, jika salah satu anggota keluarga telah melaksanakan kurban, maka sudah mencukupi bagi anggota keluarga yang lain.
Masalah mungkin timbul ketika seseorang berada di perantauan. Ada yang memilih untuk berkurban di kampung halaman dengan mengirim uang dan mempercayakan kepada orang lain untuk membeli dan menyembelih hewan kurban, sementara ada juga yang melaksanakan kurban di tempat tinggal saat ini. Pertanyaannya, di manakah sebaiknya seorang perantau melaksanakan ibadah kurban, di tempat domisili atau kampung halaman?
Dalam aturan fiqih mazhab Syafi’i, seseorang diperbolehkan untuk menyembelih hewan kurban di mana pun. Seorang perantau diperkenankan untuk berkurban di tempat tinggalnya atau mengwakilkan kepada orang lain untuk melaksanakan kurban di kampung halaman.
Kedua praktik tersebut tidak termasuk dalam pemindahan daging kurban dari satu daerah ke daerah lain yang masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Sebagian ulama mengharamkannya, sementara sebagian lainnya membolehkannya.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa kurban harus dilaksanakan di tempat domisili pelaku kurban. Namun, pendapat ini telah diklarifikasi bahwa pelaksanaan kurban dapat dilakukan di mana pun, baik di daerah domisili maupun di luar daerah domisili, baik oleh pelaku sendiri atau diwakilkan kepada orang lain.
Prinsip utamanya adalah distribusi daging kurban harus tepat sasaran, yaitu kepada orang fakir di daerah penyembelihan. Jika tidak ada orang fakir di tempat tersebut, maka diberikan kepada orang fakir di daerah tetangga. Daging kurban juga boleh diberikan kepada orang kaya, namun dengan konsekuensi yang berbeda dibandingkan dengan penerimaan daging kurban oleh orang fakir.
Dengan demikian, bagi seorang perantau diperbolehkan untuk memilih antara melaksanakan kurban di tempat domisili atau kampung halaman. Yang terpenting adalah alokasi daging kurban tidak keluar dari daerah tempat penyembelihan kurban agar sesuai dengan berbagai pendapat ulama mengenai distribusi daging kurban.