Masyarakat Indonesia kini semakin terpikat dengan penggunaan gawai dan teknologi. Bahkan, ada candaan yang menggambarkan betapa pentingnya ponsel dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini menunjukkan bahwa ponsel atau gawai telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup masa kini. Alasan di balik hal ini mungkin karena kebutuhan akan eksistensi sosial dan dukungan untuk aktivitas kerja.
Di tengah tren penggunaan teknologi ini, budaya konsumsi muncul dalam bentuk penggunaan kuota dan pulsa yang membawa lahir tren baru di dunia hi-tech. Perusahaan-perusahaan seperti Telkomsel memberikan reward berupa poin bagi pengguna yang mencapai kuota tertentu setiap bulannya. Masyarakat dibagi ke dalam kelas Diamond, Platinum, Gold, dan Silver berdasarkan pola konsumsi pulsa mereka. Tiap kelas mendapatkan reward poin yang dapat ditukarkan untuk berbagai keperluan, mulai dari membeli tiket konser hingga barang-barang lainnya.
Tidak hanya Telkomsel, pengguna jasa Grab pun mendapatkan reward berupa poin yang bisa ditukarkan dengan pulsa, top up listrik, atau bahkan untuk mengurangi tarif Grab. Begitu pula dengan pengguna kartu kredit dari bank tertentu yang mendapatkan promo berupa poin setiap kali berbelanja dengan kartu kredit mereka.
Penggunaan reward ini sebenarnya merupakan bonus dari perusahaan yang memiliki nilai manfaat karena dapat ditukarkan dengan barang atau layanan lain. Dalam perspektif fiqih, segala sesuatu yang dapat dimiliki atau dikuasai dianggap sebagai harta. Oleh karena itu, poin juga termasuk dalam kategori harta dan dapat dimanfaatkan, dihibahkan, atau dijual.
Namun, setiap poin yang diberikan oleh platform tertentu memiliki karakteristik tertentu. Misalnya, poin dari kartu member minimarket hanya bisa digunakan di minimarket tersebut atau fasilitas yang ditentukan oleh minimarket tersebut. Jika ingin menghibahkan poin ke yayasan atau lembaga crowdfunding, poin tersebut perlu dikonversi terlebih dahulu agar pemindahan hak milik dapat terjadi secara sah.
Dalam hukum Islam, hibah harus melibatkan perpindahan hak milik secara jelas. Jika barang atau poin yang dihibahkan masih terikat dengan suatu entitas tertentu, maka perpindahan milik belum sempurna. Oleh karena itu, konversi poin menjadi barang fisik atau tunai diperlukan agar hibah dapat berjalan dengan baik.
Poin juga dapat dijadikan objek wakaf, yang dalam fiqih disebut sebagai wakaf maushuf fi al-dzimmah atau wakaf salam. Meskipun istilah ini mungkin kurang populer dalam fiqih klasik, namun beberapa kaidah hukum dalam mazhab Syafii menyatakan bahwa segala sesuatu yang bisa dijualbelikan juga bisa digadaikan atau disewakan.
Poin merupakan harta manfaat yang memiliki batas waktu kadaluwarsa. Agar poin dapat dimanfaatkan selamanya, perlu dirupakan sebagai barang fisik yang dapat dimiliki secara permanen. Proses ini dikenal sebagai maushuf fi al-dzimmah. Dengan mewakafkan poin, maka akad wakaf tersebut dianggap sah menurut hukum fiqih.
Dengan demikian, penggunaan poin sebagai reward membawa implikasi hukum yang perlu dipahami dengan baik agar segala transaksi yang dilakukan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.