Pandangan ulama mengenai pembayaran utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dilakukan melalui fidyah, yaitu memberikan makanan pokok kepada orang miskin sebagai ganti puasa yang belum dilaksanakan. Meskipun beberapa ulama memperbolehkan wali almarhum untuk mengqadha puasanya, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai besaran fidyah yang harus dibayarkan.
Menurut Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i, berbagai pandangan ulama mengenai ukuran fidyah utang puasa yang ditinggalkan karena sengaja oleh orang yang telah meninggal dunia dapat diakomodasi. Jika almarhum meninggal sebelum Ramadhan berikutnya, setiap hari utang puasanya harus dibayarkan dengan memberi makanan kepada orang miskin sebanyak satu mud per hari. Namun, jika almarhum meninggal setelah Ramadhan berikutnya tiba, terdapat dua pendapat dalam mazhab Syafi’i.
Pendapat pertama menegaskan bahwa walinya harus membayar dua mud atas utang puasa per harinya; satu mud sebagai fidyah puasa dan satu mud lagi atas penundaan qadha puasanya. Pendapat kedua menyatakan bahwa wali hanya perlu membayar fidyah sebanyak satu mud atas penundaan qadha puasanya karena dengan membayar satu mud, kelalaian tersebut tergantikan.
Beberapa ulama menyatakan bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau setara dengan berat 675 gram/6,75 ons beras.
Ulama mazhab Syafi’i memiliki dua pandangan mengenai seseorang yang meninggal sebelum sempat mengqadha utang puasanya. Pendapat pertama yang dipegang oleh mayoritas ulama adalah kewajiban membayar fidyah satu mud dari harta peninggalan almarhum. Sedangkan pandangan kedua, meskipun sahih menurut sekelompok ulama terkemuka, memperbolehkan wali almarhum untuk berpuasa sebagai pembayaran utang puasa atau membayar fidyah tanpa tanggungan almarhum.
Pembayaran utang puasa almarhum dapat dilakukan oleh orang yang dipilih oleh walinya. Argumentasi atas kedua pendapat ini dapat ditemukan di dalam kitab-kitab ilmu agama.