Di era informasi saat ini, media massa seperti internet, media sosial, dan televisi sering kali menampilkan segmen tanya jawab terkait agama dan hukum Islam. Narasumber yang memberikan jawaban atas pertanyaan ini kadangkala melakukannya dengan cepat tanpa pertimbangan yang matang, yang dapat menimbulkan kebingungan dan bahkan kesalahan pemahaman terhadap masalah agama dan hukum.
Sebagian orang mungkin terkesan pandai karena mampu menjawab beragam pertanyaan dengan cepat. Namun, sebagian besar dari kita tidak menyadari bahwa kebijakan semacam itu dapat menyesatkan dan berpotensi membahayakan publik. Bahkan imam mazhab sekalipun tidak selalu mampu menjawab semua pertanyaan dengan sekilas.
Imam Mâlik pernah ditanya empat puluh masalah, namun beliau hanya menjawab “Saya tidak tahu” untuk 36 masalah tersebut. Demikian pula dengan imam Syafi’i yang juga pernah menjawab dengan singkat “Saya tidak tahu” terhadap beberapa pertanyaan.
Penting untuk memahami bahwa orang yang memberikan jawaban terkait hukum dalam segmen tanya jawab agama seharusnya memiliki pengetahuan yang mendalam, bukan sekadar memberikan jawaban sembarangan. Ulama lintas mazhab telah merumuskan syarat-syarat yang ketat terkait kapabilitas, integritas, dan kredibilitas moral bagi seorang mufti. Syarat-syarat ini seharusnya juga berlaku bagi individu yang memberikan jawaban dalam segmen tanya jawab di berbagai media.
Imam Al-Âmidî asy-Syâfi‘î dalam kitabnya Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menyebutkan dua syarat wajib dan satu syarat anjuran bagi seorang mufti. Pertama, ahli ijtihad; kedua, bersifat adil dan terpercaya; serta ketiga, tujuan berfatwa untuk memberikan arahan dan petunjuk mengenai hukum syara’, bukan untuk motif pamer atau ingin tenar.
Dalam konteks ijtihad, terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi, termasuk pengetahuan mendalam tentang Al-Qur’an, hadis, naskh-mansukh, ijma’, qiyas, ilmu bahasa Arab, ushul al-fiqh, serta pemahaman maqâshidus syarî’ah yang bersifat universal.
Seiring dengan itu, ada tiga aspek metodologis yang harus diperhatikan dalam ijtihad dan fatwa, termasuk dalam menjawab pertanyaan hukum: Tahqîq al-Manâth, I’tibâr Ma’âlat al-Ahkâm, dan Murâ’at al-taghayyurât. Selain itu, lima parameter pemahaman hukum yang dirumuskan oleh Prof Dr Khâlid Abûl Fadhl juga penting untuk diperhatikan agar pemahaman hukum Islam bersifat otoritatif dan tidak otoriter.
Dengan memperhatikan persyaratan yang ketat bagi seorang yang akan menjawab permasalahan hukum, serta mengambil teladan dari para imam mazhab yang memiliki sikap rendah hati dalam memberikan jawaban, maka penting bagi semua pihak, termasuk media massa, untuk tidak sembarangan dalam menyajikan informasi terkait agama dan hukum Islam.
Pengetahuan yang akurat dan pemahaman yang mendalam merupakan kunci dalam menjawab pertanyaan agama dan hukum. Masyarakat pun sebaiknya bertanya kepada ahli yang kompeten dalam bidangnya, sementara media massa juga seharusnya memilih narasumber yang memang memiliki keahlian dan kapasitas pengetahuan yang sesuai. Lembaga seperti Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) dapat menjadi contoh lembaga otoritatif untuk mendapatkan pandangan hukum terkait masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.