Belakangan ini, perdebatan seputar hukum zakat fitrah kembali mencuat di tanah air, terutama di media sosial, menimbulkan kebingungan di masyarakat. Dalam mazhab fiqih, terdapat dua pandangan mengenai penggunaan uang dalam membayar zakat fitrah. Mazhab Syafi’iyah dan mayoritas ulama menolak penggunaan uang, sementara Hanafiyah membolehkannya.
Di Indonesia, terdapat empat pandangan terkait hukum zakat fitrah menggunakan uang. Pendapat pertama menolak penggunaan uang dan tetap memegang prinsip zakat fitrah dengan makanan pokok, seperti beras. Pendapat ini masih banyak diikuti oleh masyarakat dan terkait dengan keputusan Muktamar NU tahun 1929.
Pendapat kedua membolehkan penggunaan uang dengan syarat mengikuti mazhab Hanafiyah secara total. Fatwa MUI Jakarta dan beberapa lembaga Islam di Jawa Timur juga membolehkan penggunaan uang dengan ketentuan tertentu.
Pendapat ketiga membolehkan penggunaan uang mengikuti Imam ar-Rûyânî meskipun pandangan ini dianggap lemah. Pendapat keempat membolehkan penggunaan uang mengikuti mazhab Hanafiyah dan Syekh Ibn Qasim, dengan mengikuti kadar yang lebih rendah.
Memilih pendapat hukum yang paling ringan dalam mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang tampaknya menjadi solusi yang paling sesuai dengan sifat dinamis dan maslahat dalam fiqih Islam. Model ini memungkinkan penggunaan intiqâl mazhab atau talfîq untuk memberikan kemudahan pada muzakki serta mustahiq.
Dalam konteks zakat fitrah, pendekatan yang mengedepankan kemudahan dan maslahat bagi semua pihak merupakan esensi dari prinsip agama Islam. Dengan memilih pendapat yang paling ringan dan sesuai dengan keadaan masyarakat, diharapkan pelaksanaan zakat fitrah dapat lebih bermanfaat dan mempermudah bagi semua pihak yang terlibat.