Baru-baru ini, pernyataan seorang ustadz mengenai hukum onani saat puasa menimbulkan kehebohan di media sosial. Beliau menyebut bahwa onani saat puasa bukanlah hal yang membatalkan ibadah puasa. Namun, penting untuk memahami bahwa merujuk pada Imam asy-Syaukani dan Ibnu Hazm dalam masalah fatwa tidaklah tepat, terutama ketika menjawab pertanyaan di hadapan umum.
Menurut Ibnu Hajar, mengikuti pendapat di luar mazhab empat dalam fatwa tidak diperbolehkan. Begitu pula dengan Ibnu Sholah yang menyebut adanya konsensus ulama terkait larangan tersebut. Oleh karena itu, memfatwakan hukum berdasarkan pandangan Ibnu Hazm dan Asy-Syaukani merupakan pelanggaran terhadap norma fatwa yang telah ditetapkan.
Dalam lingkup Mazhab Empat, ada ulama Hanafiyah yang berpendapat bahwa onani tidak membatalkan puasa karena tidak melibatkan hubungan seksual. Namun, menyebarkan pendapat ini secara luas, terutama kepada orang awam, dapat menyebabkan mereka meremehkan hukum syariat. Para ulama menekankan pentingnya hati-hati dalam memberikan fatwa agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Sikap bijak dalam menjawab pertanyaan masyarakat adalah dengan menjelaskan bahwa onani saat puasa haram dan dapat membatalkan ibadah. Tidak perlu memperdebatkan perbedaan pendapat yang dapat membuat masyarakat meragukan kredibilitas ulama. Lebih baik membiarkan masyarakat awam berpegang pada pendapat yang lebih aman dan hati-hati tanpa perlu memperkenalkan perbedaan pendapat yang bisa menimbulkan keraguan.
Masyarakat umumnya cenderung mengambil jalan yang lebih mudah dalam menjalankan ajaran agama. Oleh karena itu, ulama perlu memberikan arahan yang jelas tanpa memperumit dengan perbedaan pendapat yang tidak relevan bagi masyarakat awam. Semoga kita senantiasa mendapatkan petunjuk dari Allah dalam menjalankan agama dengan benar.