Pentingnya pemahaman terhadap realitas disorot oleh Syekh Al-‘Alwânî dalam konteks pemikiran ulama terdahulu. Beliau menegaskan bahwa jika terdapat pendapat ulama yang sesuai dengan realitas dan jiwa syariah, maka pendapat tersebut dapat diterima tanpa harus dipandang sebagai standar nash syar’i. Namun, juga penting untuk tidak merendahkan ketika para ulama terdahulu tidak memiliki jawaban terhadap problematika baru yang muncul.
Kemaslahatan yang berubah seiring perubahan sosio-geografis dan sosiokultural bersifat dinamis. Apa yang dianggap sebagai kemaslahatan pada satu masa belum tentu sama pada masa berikutnya. Dalam pandangan Islam, terdapat dinamika dalam menilai nilai kemaslahatan tersebut.
Teori perubahan sosial dan kaidah adaptif hukum Islam menjadi fokus dalam pembentukan syariat/hukum Islam. Salah satu kaidah yang penting adalah taghayyurul fatwa wakhtilâfuhâ bi hasabi taghayyuril azminah wal amkinah wal ahwâl wan niyyât wal ‘awâ’id yang menggambarkan perubahan fatwa atau norma hukum sejalan dengan perubahan konteks era, geografi, kondisi manusia, motivasi, dan kebiasaan.
KH Dr MA Sahal Mahfudh menjelaskan bahwa fiqih sebagai produk ijtihad akan terus berkembang karena pertimbangan sosio-politik, sosio-budaya, dan pola pikir yang melatarbelakangi hasil ijtihad tersebut.
Prinsip peniadaan kesulitan (raf‘ul haraj) dalam Islam diwujudkan melalui penerapan keringanan (takhfîf). Ada beberapa jenis takhfîf seperti pengguguran kewajiban, pengurangan kadar kewajiban, penukaran kewajiban, mendahulukan, mengakhirkan, dan rukhshah.
Model pengambilan hukum yang berdasarkan prinsip at-taisîr dan raf‘ul haraj dilakukan dengan pendekatan pemaduan terhadap dua hadits atau dua pendapat hukum yang tampak bertentangan. Pendekatan moderat ini menjadi penting untuk merumuskan hukum yang seimbang dan proporsional.
Hikmah dari penghilangan kesulitan dalam beragama adalah untuk memudahkan umat dalam menjalankan agama tanpa menghadapi kesulitan yang berat. Agama Islam menjadikan kemudahan sebagai landasan utama sehingga agama Islam menjadi agama pamungkas.
Dalam beragama, kita perlu menghindari sikap petentengan, ngotot, fanatik buta, atau ekstrem terhadap suatu pendapat, terutama jika pendapat tersebut tidak lagi sejalan dengan nilai keadilan dan kemaslahatan publik.