Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia memperingati malam nisfu Sya‘ban dengan beragam amalan, salah satunya adalah shalat sunnah nisfu Sya‘ban. Namun, muncul keraguan di kalangan sebagian orang terkait keabsahan amalan ini. Beberapa pihak menyatakan bahwa shalat sunnah nisfu Sya‘ban tidak memiliki dasar dalil yang kuat.
Amalan shalat sunnah nisfu Sya‘ban pertama kali dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin. Beliau menjelaskan tata cara pelaksanaannya, termasuk jumlah rakaat dan bacaan yang disunnahkan. Meskipun demikian, beberapa ulama menyatakan bahwa hadits yang mendukung shalat sunnah nisfu Sya‘ban tidak sahih.
Dalam sejarah, terdapat riwayat dari Al-Hasan yang menyebutkan keutamaan menunaikan shalat sunnah nisfu Sya‘ban. Namun, hadits ini juga dinyatakan tidak sahih oleh beberapa ulama. Ada pula hadits lain yang menyarankan untuk bangun malam nisfu Sya‘ban dan berpuasa di siang harinya, meskipun status keabsahannya dipertanyakan.
Beberapa ulama, seperti An-Nawawi, menolak praktik shalat sunnah nisfu Sya‘ban yang melibatkan 100 atau 14 rakaat karena dinilai sebagai bid‘ah dan tidak didasari oleh dalil yang kuat. Namun, anjuran untuk mengisi malam nisfu Sya‘ban dengan berbagai amalan lainnya, termasuk shalat sunnah lainnya, tetap diterima tanpa perdebatan.
Menambahkan niat nisfu Sya‘ban pada shalat sunnah setelah berniat ikhlas karena Allah tidak dianggap sebagai bid‘ah, sejalan dengan ajaran sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang terpenting dalam melaksanakan shalat sunnah adalah keikhlasan dan konsistensi dalam beribadah.
Dalam menyikapi perbedaan pendapat terkait shalat sunnah nisfu Sya‘ban, penting bagi umat Islam untuk tetap memperhatikan keikhlasan dalam beribadah dan menjauhi praktik-praktik yang dapat memengaruhi kualitas ibadah seseorang. Semoga kita senantiasa diberikan petunjuk dan kekuatan dalam menjalankan ibadah dengan penuh keikhlasan. Amin.
