Cinta akan tanah air adalah fitrah yang melekat pada setiap insan. Tidak ada yang dapat melupakan asal-usulnya. Kita selalu merindukan tempat kelahiran dan tempat di mana kita dibesarkan.

Dalam kitab Risalah al-Hanin ila al-Awthan, Amr bin Bahr Al-Jahidz menyebutkan bahwa bangsa Arab selalu membawa sedikit tanah dari tanah airnya ketika berangkat berperang atau bepergian. Hal ini dilakukan agar mereka senantiasa merindukan tanah air mereka.

Rasulullah ﷺ sendiri selalu merindukan tanah airnya, terutama saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Beliau pernah bersabda, “Tak ada kota yang lebih indah darimu, Makkah, dan tak ada kota yang lebih ku cintai darimu, Makkah.” Meskipun telah menetap di Madinah, rasa cinta kepada Makkah tetap membara dalam hati Rasulullah.

Dalam doanya, Rasulullah memohon agar Allah menumbuhkan kecintaan kepada Madinah sebagaimana kecintaan mereka kepada Makkah atau bahkan lebih. Hal ini menunjukkan betapa besar rasa cinta Rasulullah terhadap tanah airnya.

Namun, apakah cinta tanah air bisa dikategorikan sebagai fanatisme (‘ashabiyyah) yang dilarang dalam Islam? Hadits Rasulullah mengenai larangan fanatisme mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam fanatisme buta yang dapat menyebabkan ketidakadilan.

Fanatisme yang dilarang adalah ketika seseorang mendukung kelompoknya dalam melakukan kezaliman. Berbeda dengan nasionalisme yang memotivasi seseorang untuk berkhidmat kepada negaranya dengan penuh semangat tanpa melanggar prinsip keadilan.

Sebagai umat Muslim, semangat nasionalisme kita seharusnya didasari oleh semangat untuk memakmurkan bumi Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, kita diciptakan dari tanah dan diamanahkan untuk menjaga dan memakmurkannya.

Allah mencintai perbuatan yang dilakukan dengan kesempurnaan. Oleh karena itu, semangat berkhidmat kepada tanah air haruslah dilandasi oleh nasionalisme yang sehat dan bertanggung jawab.

Semoga semangat nasionalisme kita dapat membawa manfaat bagi bangsa dan negara, serta menjadi bagian dari ibadah kita kepada Allah.