Hukum ekonomi mengemukakan bahwa ketika kebutuhan akan sumber daya yang jumlahnya terbatas meningkat, pasar akan meresponsnya dengan kenaikan harga. Hal ini terjadi di tengah-tengah situasi nasional saat ini, di mana kebutuhan akan masker meningkat akibat antisipasi terhadap wabah corona. Dampaknya, harga masker naik drastis hingga mencapai 330 ribu rupiah per unit.
Beberapa pihak menyamakan tindakan ini dengan monopoli atau penimbunan barang. Namun, perlu dicermati lebih dalam sebelum memberikan penilaian.
Apotek atau penjual masker umumnya telah membeli stok barang dalam jangka waktu yang lama. Beberapa di antaranya mungkin hanya belum berhasil menjual stok masker mereka, bukan karena niat menimbun. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada yang memanfaatkan situasi kepanikan masyarakat untuk membeli masker secara besar-besaran dan menjualnya kembali dengan harga fantastis demi keuntungan pribadi. Tindakan semacam ini dapat dianggap sebagai penimbunan harta.
Monopoli ditandai dengan tindakan sepihak dalam mengendalikan barang tertentu, diiringi dengan kenaikan harga yang signifikan saat terjadi krisis guna meraih keuntungan maksimal. Praktik ini seringkali bersifat temporer dan didasarkan pada momen tertentu.
Dalam perspektif syariah, monopoli dilarang dan hanya diperbolehkan pada produk makanan pokok. Ini didasarkan pada prinsip bahwa jika seseorang menimbun makanan selama 40 hari, maka mereka tercela di mata Allah. Namun, pada produk lain seperti masker, hal ini dilihat dari sudut pandang kebutuhan mendesak serupa dengan makanan pokok. Oleh karena itu, tindakan menimbun masker untuk dijual kembali dengan harga fantastis di saat krisis dapat dianggap sebagai bentuk monopoli yang tidak diperkenankan dalam syariat Islam.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk memahami konsep monopoli dalam ekonomi syariah dan menjauhi praktik-praktik yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.