Beberapa waktu terakhir, terdapat gerakan yang kembali mencuat terkait penggunaan dinar dan dirham sebagai alat transaksi. Gerakan ini sudah ada sejak tahun 1999 dan dikenal dengan paham anti-mata uang fiat. Salah satu perusahaan, yaitu Perusahaan A, bahkan mencetak dinar di Indonesia dan memasarkannya melalui produk wakala seperti kios dinarfirst.
Penggunaan dinar-dirham mulai ramai lagi pada tahun 2003 setelah gagasan dari Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, untuk negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam beralih ke dinar–dirham sebagai media transaksi. Gagasan ini kemudian disuarakan lagi pada Konferensi Ke-12 Mata Uang Negara-negara Asia Tenggara pada tahun 2005.
Di Indonesia sendiri, penggunaan dinar-dirham sebagai alat tukar transaksi jual beli bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang. Undang-undang ini mengatur secara jelas mengenai penggunaan rupiah sebagai satu-satunya mata uang yang sah untuk bertransaksi di Indonesia. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai sanksi pidana.
Selain itu, pencantuman harga barang atau jasa juga diatur dalam undang-undang tersebut, dimana hanya boleh dalam bentuk rupiah di wilayah Indonesia. Dinar-dirham, jika tidak ditetapkan sebagai alat tukar resmi di suatu negara, kedudukannya berubah menjadi komoditas atau produk, bukan sebagai media transaksi yang sah menurut syariah.
Kepatuhan dalam menggunakan rupiah sebagai media tukar di Indonesia dianggap sebagai kewajiban seorang Muslim sebagai bentuk cinta terhadap negara dan kepatuhan terhadap syariat. Penggunaan mata uang lain dapat berdampak negatif terhadap nilai tukar rupiah dan perekonomian negara. Oleh karena itu, penting untuk mematuhi regulasi yang mengatur penggunaan mata uang di negara ini.