Dalam beberapa waktu terakhir, semangat beragama telah menjadi perhatian utama bagi sebagian orang. Semangat ini sering kali muncul dari rasa penyesalan karena kurangnya ketaatan dalam beribadah dan membaca Al-Qur’an, sehingga menimbulkan tekad yang kuat untuk berubah dan meningkatkan kualitas spiritualitas. Banyak yang bahkan bersedia untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada agama Islam sebagai upaya untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Beberapa orang bahkan menyatakan, “Saya Wakafkan Diri saya untuk Islam”.
Kita semua menyadari bahwa hati manusia sangatlah berubah-ubah. Dalam bahasa Arab, hati disebut sebagai qalb yang artinya berbalik. Hal ini menggambarkan bahwa hati memiliki potensi besar untuk berubah secara konstan. Dalam periode tobat, semangat seseorang mungkin sangat tinggi namun tidak dapat dipastikan apakah semangat tersebut akan tetap sama dua tahun ke depan. Bagaimana jika seseorang yang pernah berikrar untuk mengabdikan dirinya tiba-tiba mengalami penurunan semangat karena alasan kebutuhan keluarga atau hal lainnya, sehingga tidak bisa sepenuhnya fokus dalam beribadah kepada agama? Apakah orang tersebut berdosa karena membagi waktunya antara kebutuhan pribadi dan beribadah?
Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu memahami definisi wakaf menurut ulama fiqih. Wakaf secara bahasa berarti menahan, sedangkan secara istilah wakaf adalah menahan harta tertentu yang dapat dipindahtangankan dan dimanfaatkan, dengan sifat keabadian dan tujuan penggunaannya adalah untuk kebaikan demi mendekatkan diri kepada Allah.
Para ulama fiqih mungkin memberikan definisi yang sedikit berbeda namun substansinya tetap sama. Definisi ini penting karena akan mempengaruhi syarat-syarat wakaf dalam pembahasan selanjutnya. Menurut Imam Nawawi Al-Bantani, syarat wakaf terdiri dari empat pilar, yaitu pemberi wakaf, benda yang diwakafkan, transaksi, dan penerima wakaf.
Salah satu syarat wakaf adalah adanya benda yang diwakafkan harus berupa benda fisik yang konkret, bukan hanya manfaatnya saja tanpa wujud benda. Selain itu, benda tersebut harus bisa dimiliki meskipun bukan milik pribadi pemberi wakaf. Contohnya adalah pemerintah yang menggunakan dana negara untuk membangun masjid dari tanah wakaf yang merupakan harta riil yang bisa dipindahtangankan.
Namun, apakah orang yang mewakafkan dirinya sendiri sah secara hukum? Manusia merdeka tidak bisa dimiliki oleh siapapun sehingga mewakafkan diri sendiri baik untuk agama maupun tujuan lain tidak sah menurut fiqih. Oleh karena itu, ikrar wakaf orang yang mewakafkan dirinya sendiri tidak memiliki konsekuensi hukum yang sah. Lebih penting lagi, segala bentuk pengabdian harus didasari oleh ilmu yang cukup agar dapat terarah dan tidak terjebak oleh dorongan nafsu pribadi.
Dengan demikian, semangat beragama haruslah disertai dengan pemahaman yang cukup agar segala tindakan yang dilakukan dapat menghasilkan kebaikan sesuai dengan ajaran agama. Semoga kita senantiasa mendapat petunjuk dari Allah SWT dalam setiap langkah hidup kita.