Dalam pandangan ulama, khamar dianggap sebagai najis dan konsumsi barang najis tersebut diharamkan. Hal ini sesuai dengan ayat ke-90 dari Surat Al Maidah yang menyatakan bahwa khamar, judi, berhala-berhala, panah-panah adalah kekejian yang berasal dari perbuatan setan. Beberapa mufassir memahami bahwa keterangan kata “rijs” dalam ayat tersebut harus dijauhi baik secara zat maupun perilakunya karena maknanya yang keji atau jijik, sebagaimana tercakup dalam makna najis.
Khamar, secara bahasa, adalah minuman yang membuat akal tertutup dan berwujud gangguan kesadaran serta sifat memabukkan di dalamnya. Namun, pada era saat ini, kita menyadari bahwa zat-zat yang memengaruhi kesadaran dan memabukkan tidak hanya terbatas pada minuman beralkohol, tetapi juga meliputi narkoba atau NAPZA. NAPZA adalah zat yang mempengaruhi sistem tubuh terutama sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan gangguan fisik, psikis, dan sosial.
Pendapat mengenai khamar dan NAPZA dalam fiqih memiliki perbedaan kategorisasi yang berdampak pada penentuan jenis barang, status najisnya, dan sanksi yang diterapkan. Beberapa pendapat menyatakan bahwa khamar hanya terbatas pada minuman dari perasan anggur saja, sementara pendapat lain menyatakan bahwa khamar juga mencakup olahan buah dan tumbuhan lain yang disebut nabidz.
Pendapat umum dalam hadits dan keterangan ulama adalah bahwa khamar hanya merujuk pada minuman atau bentuk cair saja. Zat narkotika dan NAPZA lainnya dianggap bukan khamar karena wujudnya padat, sehingga tidak dianggap najis. Meskipun demikian, NAPZA tetap diharamkan dikonsumsi dan disalahgunakan karena efek buruknya yang memabukkan, bukan karena status najisnya.
Dalam diskursus mengenai khamar, narkoba, dan NAPZA, penting untuk memahami sebab keharaman dan dampak negatif yang ditimbulkan pada individu baik dari segi fisik maupun jiwa. Sebagai masyarakat, kita perlu bersama-sama menolak penggunaan narkoba dengan menyadari konsekuensi buruk yang dapat ditimbulkannya.