Dalam dunia niaga, tujuan utama dari setiap transaksi adalah memperoleh keuntungan melalui akad pertukaran barang atau jual beli. Namun, perlu diingat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara keuntungan yang halal dan haram dalam perspektif syariah.
Riba, yang merupakan praktik memperoleh keuntungan tambahan dari pemberian utang tanpa adanya barang jaminan atau dari jual beli dengan penundaan pembayaran, diharamkan dalam Islam. Hal ini disebabkan oleh adanya unsur penindasan dan eksploitatif yang melibatkan kedua belah pihak. Maka dari itu, penting untuk memastikan bahwa setiap transaksi yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah untuk menjaga hak-hak atas harta.
Ketika berbicara tentang jual beli, meskipun secara umum dianggap halal, namun terdapat praktik-praktik tertentu yang dilarang dalam syariat. Beberapa contohnya adalah talaqqy rukban, hadhir lil bad, ihtikar, dan jual beli barang yang tidak bisa dijamin. Larangan-larangan ini bertujuan untuk mencegah penindasan terhadap sesama dan eksploitasi terhadap masyarakat kecil.
Selain itu, syariah juga mengatur mengenai kepemilikan harta seseorang yang cenderung boros. Dalam hal ini, negara atau pemimpin setempat diberikan wewenang untuk melarang individu tersebut melakukan transaksi agar kemaslahatan umum dapat terjaga.
Dalam konteks riba yang berkaitan dengan tukar menukar barang ribawi, terdapat praktik bai’ araya yang harus memperhatikan ketentuan-ketentuan tertentu agar transaksi tersebut sah menurut syariah. Misalnya, ketentuan mengenai kesamaan takaran dan saling serah terima barang.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip syariah dalam praktik jual beli dan riba, diharapkan setiap transaksi niaga dapat dilakukan secara adil dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Penegakan hukum-hukum syariah dalam dunia niaga merupakan upaya untuk menciptakan keseimbangan antara hak pemilik harta dan kemaslahatan umum masyarakat.