Dalam praktik ekonomi syariah, akad mukhabarah sering menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Akad ini umumnya didefinisikan sebagai sebuah kesepakatan kerja sama antara pemilik lahan dan petani penggarap. Perbedaan mendasar antara muzara’ah dan mukhabarah terletak pada sumber benih tanaman yang digunakan: jika benih berasal dari petani penggarap, maka disebut muzara’ah; namun jika benih berasal dari pemilik lahan, maka disebut mukhabarah.
Dalam konteks syirkah ‘inan, akad mukhabarah melibatkan pembagian hasil produksi berdasarkan nisbah tertentu antara pemilik lahan dan petani penggarap. Hal ini menunjukkan adanya kerja sama dalam mengelola tanaman substitusi atau tambahan yang tidak mengganggu tanaman utama.
Pentingnya menghargai kerja petani penggarap dalam akad mukhabarah juga menjadi sorotan. Bagaimana mengkalkulasi nilai kerja yang dilakukan petani penggarap agar adil dan sesuai dengan prinsip syariah menjadi pertanyaan yang mendasar.
Namun, dalam perspektif Mazhab Syafii, akad mukhabarah dianggap tidak dapat diterima karena beberapa alasan utama. Salah satunya adalah ketidakpastian dalam kalkulasi nilai kerja petani penggarap yang dapat berdampak pada kesulitan menentukan upah yang jelas. Selain itu, penentuan nisbah bagi hasil juga menjadi permasalahan dalam akad ini.
Meskipun demikian, pandangan ini tidak berlaku pada tiga mazhab lainnya yang memperbolehkan dan menyatakan kemaslahatan dari akad mukhabarah. Mereka menekankan aspek ta’awun (tolong-menolong) antara pemilik lahan dan petani penggarap untuk meningkatkan pendapatan kedua belah pihak.
Pada akhirnya, perdebatan mengenai hukum akad mukhabarah tetap menjadi topik menarik dalam studi ekonomi syariah. Penting untuk memahami perspektif berbagai mazhab dalam merumuskan keabsahan dan manfaat dari akad ini.