Gerhana matahari dan bulan merupakan fenomena alam yang menarik perhatian banyak umat Islam. Ketika salah satu dari dua gerhana tersebut terjadi, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan shalat khusuf (untuk gerhana matahari) atau shalat kusuf (untuk gerhana bulan). Hukum menunaikan kedua shalat ini adalah sunnah, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Waktu pelaksanaan shalat gerhana dimulai saat gerhana matahari atau gerhana bulan berlangsung. Batas akhir pelaksanaan shalat ini ditetapkan berdasarkan petunjuk yang jelas dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib.
Namun, bagaimana jika seseorang ingin melaksanakan shalat gerhana setelah waktu pelaksanaannya habis? Bolehkah shalat gerhana diqadha (diganti di waktu lain) ketika waktu pelaksanaannya telah berlalu?
Para ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa mengqadha shalat sunnah merupakan anjuran, namun tidak semua shalat sunnah bisa diqadha. Salah satu shalat sunnah yang tidak boleh diqadha adalah shalat gerhana, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin.
Alasan mengapa shalat gerhana tidak dapat diqadha adalah karena shalat ini tergantung pada suatu sebab tertentu, yaitu gerhana matahari atau bulan, sehingga waktunya tidak ditentukan secara pasti oleh syara’. Hal ini dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj.
Dalam kasus di mana seseorang melaksanakan shalat gerhana saat waktu pelaksanaan sudah habis, Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa shalat gerhana dapat bersifat ada’ (sesuai waktunya) dan qadha.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa shalat gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan, merupakan shalat sunnah yang tidak dianjurkan untuk diqadha setelah waktu pelaksanaannya habis. Sebagai umat Islam, sebaiknya kita memperhatikan waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan shalat gerhana dan memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah yang benar.