Para ulama telah lama melakukan ijtihad terkait dengan batasan luas lahan yang boleh digunakan dalam akad muzara’ah, khususnya terkait dengan aturan tumpangsari antara tanaman muzara’ah dan tanaman utama. Ijtihad mereka didasarkan pada pertimbangan potensi gangguan antara kedua tanaman tersebut, dimana tindakan yang merugikan tanaman utama akan menimbulkan kewajiban ganti rugi bagi petani penggarap. Namun, syarat yang diajukan oleh pemilik lahan tanaman utama juga harus memperhatikan potensi kerugian yang mungkin terjadi.
Imam Malik menegaskan bahwa batas maksimal luas lahan muzara’ah adalah ⅓ dari seluruh area tanaman musaqah. Melebihi batas ini dapat dianggap merugikan tanaman utama, terutama jika tanaman tersebut termasuk jenis yang memerlukan perawatan khusus seperti buah-buahan atau tanaman yang mudah mati jika tidak dirawat dengan baik. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan jenis tanaman dan kebutuhan perawatannya dalam menentukan batasan luas lahan.
Hal yang serupa juga berlaku dalam madzhab Hanafi, dimana jenis tanaman utama seperti mentimun atau semangka harus ditanam secara terpisah agar pertumbuhannya tidak terganggu. Rendahnya produksi akibat muzara’ah menunjukkan adanya tindakan merugikan yang harus ditindaklanjuti sesuai dengan hukum syariah.
Sementara dalam madzhab Syafii, tidak ada batasan maksimal luas lahan pada akad muzara’ah. Asalkan tanaman muzara’ah tidak merugikan tanaman utama, maka lahan boleh digunakan untuk akad tersebut. Perbedaan pandangan di kalangan Syafiiyah kemungkinan besar dipertimbangkan berdasarkan potensi kerugian atau manfaat bagi tanaman utama.
Dalam kesimpulannya, penentuan batasan luas lahan dalam akad muzara’ah sangat bergantung pada jenis tanaman, kebutuhan perawatan, dan potensi interaksi antara tanaman muzara’ah dan tanaman utama. Dengan memperhatikan aspek ini, diharapkan akad muzara’ah dapat dilakukan dengan adil dan menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat.