Dalam praktik muamalah, terdapat istilah syirkah mudharabah yang sering menimbulkan pertanyaan mengenai kemu’tabaran akad ini di kalangan ulama terdahulu. Istilah ini tidak lazim ditemukan dalam banyak teks syariat, sehingga muncul keraguan mengenai kesesuaian dan kesahihan akad ini.

Syirkah mudharabah seolah menggabungkan dua konsep, yaitu syirkah dan mudharabah, yang biasanya dianggap terpisah dalam banyak literatur. Hal ini memunculkan pertanyaan mengapa tidak menggunakan istilah yang sudah akrab seperti syirkah ‘inan, syirkah wujuh, syirkah abdan, atau syirkah mufawadhah.

Dalam memahami perbedaan konsep, syirkah ‘inan adalah kerja sama dengan modal yang sama jenisnya untuk dikelola bersama di bawah satu manajemen. Sementara syirkah wujuh melibatkan salah satu pihak sebagai pemodal yang hanya menitipkan harta kepada mitra yang menjalankan bisnis. Syirkah abdan adalah kerja sama antara orang dengan keahlian serupa, sedangkan syirkah mufawadhah melibatkan pihak dengan profesi berbeda.

Syirkah mudharabah mirip dengan syirkah wujuh, namun dengan perbedaan bahwa pemodal tidak mengelola hartanya sendiri dan mitra bisnisnya kekurangan modal. Akad ini ditujukan untuk menjalin kerja sama antara keduanya guna mengelola usaha bersama.

Dalam konteks kemu’tabaran, mahzab Syafii hanya mengakui syirkah ‘inan sebagai sah, sehingga syirkah mudharabah tidak termasuk dalam tinjauan fiqihnya. Namun, konsep syirkah mudharabah didasarkan pada akad wakalah menurut beberapa ulama, seperti yang diungkapkan oleh As-Sarakhsi dan Al-Ghazali.

Akad syirkah mudharabah memadukan konsep syirkah wujuh dengan dasar akad wakalah, sehingga dianggap mu’tabar di kalangan ulama. Meskipun terdapat perbedaan penekanan dalam pemahaman, namun esensi dari akad ini tetap didorong oleh mu’tabarnya akad wakalah.