Perhiasan yang dimiliki seseorang yang mengalami kerusakan seringkali menimbulkan pertanyaan apakah masih wajib dikeluarkan zakat atau tidak. Meskipun terlihat sebagai hal yang sepele, namun masalah ini sering dialami oleh banyak orang, terutama kaum wanita. Ternyata, dalam fiqih, kondisi perhiasan yang rusak ini memiliki dampak yang signifikan dan telah banyak dibahas dalam beberapa kitab turats terkenal di kalangan pesantren.
Para ulama umumnya mengaitkan hukum zakat perhiasan dengan niat ketika pertama kali membeli perhiasan tersebut. Ada yang menyatakan bahwa perhiasan hanya digunakan sebagai hiasan yang diperbolehkan, namun ada juga yang digunakan untuk hal-hal yang diharamkan. Bagi perhiasan yang digunakan sebagai hiasan yang diperbolehkan, tidak wajib dikeluarkan zakatnya selama tidak ada pemborosan. Pemborosan terjadi jika harga perhiasan yang digunakan melebihi nishab emas. Meskipun terdapat pendapat lain dalam fiqih, namun secara umum, tidak wajib zakat selama perhiasan digunakan oleh orang yang tidak dilarang menggunakannya.
Sementara itu, untuk perhiasan yang diharamkan, dianggap sebagai harta simpanan dan tetap wajib dikeluarkan zakatnya jika telah mencapai nishab dan haul. Perhiasan yang dibeli dengan niat untuk disimpan juga termasuk dalam kategori harta simpanan dan wajib dizakati.
Jika kita membagi dua jenis perhiasan menjadi yang diharamkan dan diperbolehkan seperti di atas, maka kerusakan pada perhiasan yang diharamkan tidak mempengaruhi status kewajiban zakat. Perhiasan tetap dianggap wajib zakat, kecuali terjadi perubahan niat penggunaannya di tengah jalan.
Sebagai contoh, ketika seseorang membeli sebuah kalung dengan niat untuk digunakan sendiri, maka kalung tersebut dianggap sebagai perhiasan yang diharamkan. Oleh karena itu, kalung tersebut wajib dizakati, dimulai dari saat kalung diterima oleh pembelinya. Namun, jika kemudian niat berubah dan kalung tersebut diberikan kepada istri atau anak perempuannya, maka perhiasan tersebut menjadi perhiasan yang diperbolehkan dan tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali jika nilai perhiasan melebihi 1 nishab. Hitungan haul dari perhiasan yang diberikan juga dimulai dari saat pertama kali dibeli.
Ketika perhiasan yang diperbolehkan mengalami kerusakan, hukumnya akan disesuaikan dengan tingkat kerusakan tersebut. Ada yang hanya memerlukan perbaikan ringan tanpa mengganggu penggunaannya, sehingga status hukumnya tetap sebagai perhiasan yang diperbolehkan. Namun, jika kerusakannya parah sehingga tidak bisa digunakan lagi tanpa diperbaiki, maka status hukumnya berubah menjadi wajib zakat. Hitungan haul dimulai dari saat perhiasan rusak tersebut tidak bisa digunakan lagi.
Dalam kondisi tertentu, ketika perhiasan rusak harus dicetak ulang atau diubah bentuknya menjadi perhiasan baru, hukumnya akan disesuaikan dengan kondisi kerusakan tersebut. Jika servisnya diubah menjadi emas atau perak batangan, maka statusnya akan menjadi harta zakawi yang wajib dizakati. Hitungan haul dimulai dari saat perhiasan rusak tersebut. Jika servisnya kemudian diubah kembali menjadi perhiasan, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
Dalam menentukan kewajiban zakat atas perhiasan yang rusak, penting untuk memperhatikan niat awal pembelian dan tingkat kerusakan perhiasan tersebut. Dengan pemahaman yang benar, kita dapat melaksanakan kewajiban zakat dengan tepat sesuai dengan ajaran agama.