Dalam ajaran Islam, zakat perhiasan menjadi topik yang sering kali menimbulkan perdebatan di kalangan ulama. Meskipun terdapat hadits yang menyebutkan kewajiban zakat pada perhiasan, namun pemahaman terhadap hal ini masih menjadi perbincangan hangat.
Hadits yang menceritakan kisah seorang perempuan yang memiliki gelang emas besar bersama anak perempuannya, menjadi titik tolak bagi beberapa ulama dalam menetapkan kewajiban zakat perhiasan. Meskipun hadits tersebut dianggap shahih dari segi sanadnya, namun tidak semua ulama sepakat akan keabsahan hadits tersebut sebagai landasan hukum.
Ada tiga kelompok pandangan yang dapat dipetakan dari pemahaman ulama terkait zakat perhiasan. Pertama, ada yang berpendapat bahwa perhiasan yang dulunya diharamkan bagi kaum perempuan kemudian diizinkan, masih tetap wajib dizakati. Kelompok kedua berpendapat bahwa zakat perhiasan hanya wajib jika terdapat unsur berlebihan (israf) dalam perhiasan tersebut. Sedangkan kelompok ketiga, yaitu ulama ahli ushul fiqih, berpendapat bahwa kewajiban zakat bisa disebabkan oleh dua alasan, yakni karena keharaman penggunaannya atau adanya israf.
Dari berbagai pendapat ulama dan interpretasi terhadap hadits-hadits yang ada, dapat disimpulkan bahwa perhiasan tidak secara mutlak wajib dizakati selama perhiasan tersebut digunakan oleh orang yang tidak dilarang oleh syariat. Namun, jika perhiasan tersebut termasuk dalam kategori yang diharamkan penggunaannya atau mengandung unsur israf, maka wajib dikeluarkan zakatnya setelah memenuhi syarat haul dan nishab.
Pemahaman yang mendalam terhadap konsep zakat perhiasan sangat penting dalam menjalankan ibadah zakat dengan benar sesuai ajaran Islam. Dengan demikian, umat Muslim diharapkan dapat memahami dan melaksanakan kewajiban zakat perhiasan sesuai dengan petunjuk yang ada dalam fiqih Islam.