Menghias masjid dengan menggunakan bahan emas telah menjadi topik diskusi yang menarik dalam kajian agama Islam, khususnya dari sudut pandang Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Menurut Mazhab Hanafi, menghias masjid dengan emas diperbolehkan selama tidak dilakukan pada bagian mihrab atau dinding yang menghadap kiblat. Namun, harus diingat bahwa ukiran yang digunakan tidak boleh berlebihan sehingga mengganggu khusyu’ jamaah.
Sementara itu, Mazhab Maliki memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Mereka menyatakan bahwa hukum mengukir masjid dengan bahan emas sebenarnya makruh. Al-Faqih Al-Hafiz Abdul Barr menjelaskan bahwa Imam Malik menyatakan bahwa mengukir masjid bisa mengalihkan perhatian jamaah dari ibadah mereka. Meskipun tidak diharamkan secara tegas, akan lebih baik jika dana yang digunakan untuk mengukir masjid disumbangkan untuk kepentingan sosial.
Dalam kajian ini, terungkap bahwa Imam Malik lebih menyarankan penggunaan dana untuk kebaikan sosial dibandingkan menghias masjid dengan emas. Meskipun demikian, jika ukiran emas tersebut hanya sedikit, tidak dianggap sebagai masalah besar. Namun, penting untuk memperhatikan bahwa penggunaan dana sebaiknya dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Kemakruhan menghias masjid dengan emas menurut Mazhab Maliki mencakup seluruh bagian masjid, termasuk dinding, atap, kayu, dan sekat pemisah. Bahan ukiran yang dimakruhkan juga meliputi emas dan perak. Namun, jika ukiran tersebut dapat mengganggu khusyu’ jamaah atau terletak di sekitar mihrab, maka akan dianggap makruh.
Dalam kesimpulannya, baik Mazhab Hanafi maupun Mazhab Maliki sepakat bahwa menghias masjid dengan emas sebaiknya dihindari. Lebih baik menggunakan dana untuk kepentingan sosial daripada menghias masjid dengan ukiran yang mewah. Hal ini sebagai bentuk penghargaan terhadap fungsi utama masjid sebagai tempat ibadah dan kegiatan sosial umat Islam.