Najis merupakan konsep yang tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari kita, terutama terkait dengan keabsahan ibadah dan status kehalalan makanan serta minuman. Dalam perspektif bahasa, najis memiliki makna sebagai sesuatu yang kotor, termasuk tinja manusia dan hewan serta hal-hal lain yang menimbulkan rasa jijik.
Para ulama fiqih memiliki keragaman pendapat dalam menentukan definisi najis, yang pada akhirnya akan berdampak pada penetapan status halal dan haram dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pangan, obat, dan kosmetika.
Dalam berbagai mazhab, termasuk Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan najis. Beberapa ulama mengaitkan najis dengan benda konkret yang kotor dan menjijikkan, sementara yang lain mempertimbangkan aspek hukmi atau abstrak dari najis.
Definisi najis yang disampaikan oleh Imam Zakariya al-Anshari memberikan gambaran yang cukup jelas tentang sifat najis yang harus dipertimbangkan dalam kehidupan sehari-hari. Najis harus dapat diidentifikasi secara jelas, tidak boleh dikonsumsi, dan tidak boleh membahayakan tubuh atau pikiran.
Perbedaan pendapat mengenai najis ini juga mempengaruhi penentuan status suatu benda atau produk apakah halal atau haram. Contohnya, dalam kasus khamar, terdapat perbedaan pendapat antara mazhab Hanafi dan Syafi’i mengenai status najis dan haramnya hasil fermentasi anggur.
Dengan demikian, pemahaman tentang najis dalam pandangan fiqih tidak hanya memengaruhi aspek ibadah tetapi juga berdampak pada pola konsumsi masyarakat. Perlu pemahaman yang mendalam dan beragam dalam merespons isu-isu terkait najis guna menciptakan pemahaman yang seimbang dan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.