Dalam ajaran Islam, nilai-nilai universalitas seperti kesetaraan, keadilan, dan kebebasan menjadi landasan utama dalam menghargai serta melindungi hak-hak penyandang disabilitas. Islam mengajarkan bahwa semua manusia, termasuk penyandang disabilitas, memiliki hak yang sama untuk diperlakukan dengan manusiawi dan mendapatkan fasilitas beribadah yang layak.
Allah SWT secara jelas menyampaikan pesan kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas dalam Surat An-Nur ayat 61. Tidak ada halangan bagi mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan bersama-sama tanpa diskriminasi. Penafsiran dari ayat ini menegaskan bahwa Islam mengecam sikap diskriminatif terhadap penyandang disabilitas dan menuntut perlakuan yang setara serta penuh dengan empati.
Sejarah Nabi Muhammad SAW juga mencatat interaksi beliau dengan sahabat penyandang disabilitas netra, Abdullâh ibn Ummi Maktûm, sebagai contoh bagaimana Islam memuliakan dan memperhatikan penyandang disabilitas. Turunnya Surat ‘Abasa sebagai peringatan bagi Nabi Muhammad menunjukkan pentingnya memberikan perhatian yang sama kepada semua lapisan masyarakat, termasuk penyandang disabilitas.
Dalam konteks fiqih, penyandang disabilitas tetap memiliki kewajiban menjalankan ibadah sesuai kemampuan mereka, tanpa mengurangi nilai ibadah tersebut. Islam memberikan kemudahan bagi mereka untuk melaksanakan kewajiban dengan mempertimbangkan kondisi fisik yang mereka miliki. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya.
Dengan demikian, Islam bukan hanya mengajarkan untuk menghargai dan melindungi hak-hak penyandang disabilitas, tetapi juga memberikan pedoman yang jelas dalam memperlakukan mereka secara adil dan penuh kasih sayang. Dalam beribadah, penyandang disabilitas diperbolehkan untuk menjalankan kewajiban sesuai dengan kemampuan mereka, dengan keyakinan bahwa di balik keterbatasan fisik terdapat keutamaan yang mulia di sisi Allah SWT.