Setelah akad musaqah disepakati antara petani penggarap dan pemilik kebun, maka langsung berlaku hak dan kewajiban petani penggarap atas lahan yang diserahkan. Pembagian tugas ini mencakup segala hal ihwal yang berkaitan dengan pembagian pekerjaan terkait pengolahan lahan.
Menurut kalangan Hanafiyah, terdapat dua batasan umum mengenai pembagian tugas antara petani penggarap (‘Amil) dan pemilik kebun. Pertama, semua pekerjaan yang berhubungan dengan tanaman sebelum diproduksinya buah menjadi tanggung jawab ‘amil. Ketika buah sudah siap dipetik, tanggung jawab penjagaan dan perawatan tanaman beralih menjadi tanggung jawab bersama. Kedua, pekerjaan yang tidak memberikan manfaat langsung pada tanaman setelah akad, menjadi tanggung jawab ‘amil dan tidak boleh dikaitkan dengan pemilik.
Sementara kalangan Malikiyah mengembalikan pola pembagian tugas kepada tradisi (‘urf) yang berlaku di tempat kedua pihak tinggal. Mereka menyatakan bahwa segala tindakan yang berhubungan dengan upaya menghasilkan buah secara ‘urf menjadi kewajiban ‘amil, meski dilakukan setelah buah dapat dipetik.
Dalam hal ini, pendekatan Malikiyah mirip dengan Hanafiyah. Pekerjaan yang tidak langsung berhubungan dengan produksi buah bukan tanggung jawab petani penggarap. Sedangkan pekerjaan yang berhubungan dengan upaya menghasilkan buah namun bersifat permanen, seperti menggali sumur atau membangun saluran irigasi, tidak dimasukkan dalam akad musaqah yang sudah berjalan.
Pendapat Ibnu Rusyd menunjukkan bahwa pekerjaan yang memiliki pengaruh langsung terhadap tanaman dan hasil panen dapat dicakup dalam syarat akad musaqah. Pekerjaan yang berhubungan langsung dengan produksi buah namun tidak permanen menjadi tanggung jawab ‘amil berdasarkan akad yang sudah dibangun.
Semua pekerjaan yang berhubungan langsung dengan upaya produksi buah namun tidak permanen menjadi tanggung jawab ‘amil sebagai kelaziman dari akad yang telah dibuat. Semoga pembahasan ini dapat menambah pemahaman mengenai akad muamalah dalam dunia pertanian.