Tanah tempat menanam seringkali memiliki kontur yang beragam, memengaruhi perlakuan dan hasil panen. Kontur tanah, seperti datar, landai, atau terjal, memainkan peran penting bagi petani dalam menentukan kesuburan tanah dan nilai jualnya. Namun, bagaimana jika perbedaan kontur tanah ini memengaruhi hasil panen dan bagaimana implikasinya dalam akad musaqah?
Sebagai contoh, ketika petak tanah datar menghasilkan tanaman dengan baik karena paparan sinar matahari yang merata, sedangkan tanah landai atau terjal sulit memberikan hasil yang optimal akibat kurangnya cahaya matahari langsung. Dalam hal ini, apakah petani dapat mengajukan syarat berbeda untuk bagian hasil yang diterima?
Menimbang pengertian shighat akad musaqah, kesepakatan antara pemilik tanah dan petani penggarap harus didasarkan pada pemahaman yang jelas dan wajar mengenai kondisi tanah. Jika kedua pihak sepakat dengan rincian yang berbeda berdasarkan kontur tanah, hal itu dianggap sah asal ada kesepakatan saat akad dilangsungkan.
Namun, bagaimana jika setelah akad terjadi, petani menyadari sulitnya mendapatkan hasil optimal akibat kondisi tanah yang tidak sesuai? Dalam konteks ini, akad musaqah bersifat jaizah (boleh) yang memungkinkan pembatalan atau perubahan kesepakatan jika terdapat ketidaksesuaian antara kerja dan hasil yang didapat.
Syariat Islam memberikan fleksibilitas dalam menjalankan akad musaqah untuk mencapai tujuan utama, yaitu tolong-menolong dan menjaga harta. Prinsip tersebut juga berlaku dalam mengatasi masalah jika tanaman tidak berbuah akibat kondisi tanah yang sulit. Petani tidak dapat mengajukan ganti rugi karena itu melanggar kesepakatan dalam akad musaqah.
Dengan demikian, penting bagi pemilik tanah dan petani penggarap untuk memahami implikasi perbedaan kontur tanah dalam akad musaqah serta menjaga konsistensi dalam menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Hal ini akan meminimalisir potensi konflik dan memastikan keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam menjalankan usaha pertanian.