Sejarah mencatat beragam sistem ketatanegaraan yang telah ada di dunia. Dari teokrasi hingga demokrasi, evolusi sistem pemerintahan ini menunjukkan bahwa tidak ada konsep tata negara yang bersifat baku. Semua sistem ini bersifat ijtihadi, dengan kekuatan hukum yang relatif.
Dalam catatan sejarah Islam, konsep kekhalifahan mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Mulai dari pemilihan Khalifah pertama hingga pergeseran ke sistem monarki dan perwakilan. Setiap perubahan ini dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat pada saat itu.
Tidak ada satu pun sistem ketatanegaraan yang bersifat baku, terutama dalam dunia Islam. Para sahabat dan generasi setelahnya mendirikan pemerintahan berdasarkan maslahah bagi masyarakat. Dengan munculnya konsep nation-state di abad ke-19, dinamika baru menghadang para pemikir keislaman.
Para fuqaha kontemporer kemudian melihat konsep maqashid al-syari’ah untuk membentuk rumusan baru dalam konteks negara bangsa. Tujuan utama syariat Islam adalah menjaga lima atau enam penjagaan, termasuk penjagaan agama, keturunan, harta, jiwa, kehormatan, dan kehormatan lainnya menurut Ibn ‘Asyur.
Negara memiliki mandat untuk menjaga nilai-nilai universal maqashid al-syariah. Oleh karena itu, bentuk negara bukanlah tujuan utama tetapi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam teks wahyu, konsep negara dan sistem pemerintahan tidak dijelaskan secara rinci, meninggalkan teknis kenegaraan untuk manusia dengan tetap menjaga nilai-nilai syariat secara universal.
Dengan pemahaman ini, konklusi dapat ditarik bahwa evolusi sistem ketatanegaraan mencerminkan kesadaran bahwa negara adalah instrumen untuk mencapai tujuan tertentu tanpa menyebutkan bentuk yang spesifik dalam teks wahyu. Nilai-nilai seperti musyawarah, keadilan, kebebasan, dan kesetaraan tetap menjadi pedoman dalam menyusun sistem kenegaraan.