Polemik seputar produk halal sering kali berkisar pada kriteria yang digunakan. Beragam argumen dari pendakwah, ustadz, dan ulama menimbulkan spektrum pemahaman yang berbeda di masyarakat, mulai dari yang memandang “sedikit-sedikit haram” hingga memberi label halal secara kurang tepat.
Para ulama fiqih memiliki beragam argumentasi mengenai kriteria halal suatu barang, terutama dalam konteks makanan, minuman, dan obat. Al-Qur’an menegaskan agar manusia mengonsumsi barang yang halal dan thayyiban. Thayyiban merujuk pada barang yang halal, tidak membahayakan, dan layak serta enak dikonsumsi.
Dalam Surat al-A’raf ayat 157, Allah menyatakan bahwa Dia menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk. Thayyib merupakan lawan kata dari khabits, yang berarti buruk atau tidak menyenangkan. Kriteria produk halal termasuk harus thayyib dan tidak mengandung mudharat.
Ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai kriteria baik dan buruk untuk dikonsumsi. Status thayyib dan khabits ini dapat mempengaruhi status halal suatu produk. Dalam mazhab Hanafi, thayyib diartikan sebagai halal dan enak. Sedangkan dalam mazhab Maliki, terdapat diskusi mengenai konsumsi makanan atau minuman yang dianggap buruk oleh sebagian orang.
Perbedaan pemahaman juga terjadi dalam penilaian thayyib dan khabits berdasarkan persepsi orang Arab. Beberapa kalangan mazhab menyatakan bahwa penilaian tersebut harus sesuai dengan pengetahuan dan adat masyarakat Arab.
Dari berbagai diskusi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kriteria thayyib dan khabits dalam konteks produk konsumsi harus jelas, diukur berdasarkan persepsi orang Arab, serta dapat dianalisis secara rasional maupun ilmiah. Pengetahuan dari para ahli dalam bidang terkait juga perlu diperhatikan.
Penting untuk menyadari bahwa persoalan halal-haram tidaklah mudah, dan seringkali memerlukan pemahaman yang mendalam serta kajian dari berbagai sisi sebelum memberikan fatwa.