Tidak semua orang memiliki kemampuan finansial untuk membeli makanan di tempat yang sangat menjaga kebersihan dengan harga yang tinggi. Beberapa orang lebih memilih mencari warung di pinggir jalan karena masalah selera atau preferensi. Kualitas dari depot, stan, atau warung tersebut tentu beragam, ada yang sangat bersih namun ada juga yang kurang memperhatikan kebersihan.
Salah satu masalah yang sering ditemui adalah terkait dengan kebersihan warung makan yang kurang memadai, seperti perilaku penjual yang kurang hati-hati. Misalnya, saat memasak atau melayani pelanggan, air keringat penjual menetes ke makanan atau bersin tanpa menutup mulut di dekat makanan. Meskipun hal ini biasanya dapat mengganggu selera makan, bagaimana pandangan dalam hukum Islam (fiqih) terkait hal ini?
Menurut hukum Islam, keringat, air liur, dan ingus tidak termasuk benda najis. Sehingga, apabila makanan atau minuman terkena tetesan keringat atau air liur, maka hukumnya masih suci dan halal untuk dikonsumsi, meskipun bersumber dari keringat orang yang sedang haid. Hal ini sejalan dengan penafsiran Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab.
Dalam sejarah, terdapat kisah yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan kurma yang sudah dikunyahnya kepada seorang bayi, sehingga yang pertama kali masuk ke perut bayi tersebut adalah ludah Rasulullah. Hal ini menunjukkan bahwa air ludah Rasulullah dianggap suci. Demikian pula dengan kisah Ummu Sulaim yang mengambil keringat Rasulullah SAW untuk mendapatkan berkah bagi anak-anaknya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keringat, air liur, dan air mata bukanlah benda najis dalam Islam. Oleh karena itu, dalam konteks makanan dan minuman, hukumnya tetap suci dan halal untuk dikonsumsi. Semoga informasi ini bermanfaat bagi kita semua.