Hari Asyura, yang jatuh pada tanggal kesepuluh bulan Muharram, memiliki makna penting dalam sejarah keagamaan. Pada hari itu, Bani Israil diselamatkan oleh Allah dari musuh mereka. Bulan Muharram sendiri termasuk dalam empat bulan mulia yang dihormati dalam Islam. Rasulullah ﷺ mengajarkan untuk menghentikan peperangan pada bulan ini sebagai bentuk penghormatan.

Dalam merayakan Hari Asyura, beberapa masyarakat Jawa menyebut bulan Muharram dengan nama ‘Suro’ yang diambil dari nama hari penting dalam bulan tersebut: Asyura. Meskipun terdapat kebiasaan melakukan berbagai amalan ibadah pada hari itu, penting untuk memastikan bahwa amalan yang dilakukan tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Ada pandangan yang berbeda terkait dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan Hari Asyura. Beberapa hadits dianggap shahih, namun ada pula yang dhaif atau maudhu. Penting bagi masyarakat untuk selektif dalam memahami hadits-hadits tersebut agar tidak menyesatkan pemahaman keagamaan.

Puasa Asyura adalah salah satu amalan yang disunnahkan, namun tidak ada dalil yang menyatakan pahala yang ‘bombastis’ seperti yang terkadang dipercayai oleh sebagian orang. Puasa ini diperintahkan oleh Nabi sebelum adanya puasa Ramadhan, namun setelah itu menjadi sunnah yang tidak diwajibkan.

Dalam menjalankan tradisi keagamaan pada Hari Asyura, penting untuk memahami sumber ajaran yang benar dan tidak terjebak dalam praktik-praktik yang bertentangan dengan ajaran agama. Selama amalan tersebut baik, tidak melanggar syariat, dan tidak diyakini sebagai tindakan khusus yang diajarkan oleh Nabi, maka amalan tersebut dapat dijalankan tanpa masalah.

Adanya variasi tradisi keagamaan di masyarakat Indonesia menunjukkan keberagaman dalam penghayatan agama. Selama amalan tersebut sesuai dengan ajaran Islam dan tidak bertentangan dengan syariat, maka dapat dilakukan sebagai bentuk ibadah dan penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan tanpa meragukan kesyahihan ajaran tersebut.