Bai’ul-’inah merupakan suatu bentuk akad jual beli dalam hukum syariah di mana terdapat penjualan barang secara kredit yang kemudian dibeli kembali secara tunai dengan harga yang lebih tinggi. Definisi ini dikemukakan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya.
Menurut Syekh Wahbah, hukum bai’ul-’inah memiliki perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang melarang seperti Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan ulama Hadawiyah dari Mazhab Zaidiyah. Namun, Imam Syafii dan para pengikutnya membolehkannya dengan alasan kejelasan atas transaksi tersebut.
Dalam praktiknya, nilai margin keuntungan bai’ul-’inah dapat dihitung berdasarkan perbedaan antara harga beli kembali secara tempo dengan harga asli, yang kemudian dibagi dalam periode tertentu untuk mengetahui jumlah cicilan per bulan.
Di sisi lain, bunga flat dalam sistem perbankan merupakan bunga tetap yang dihitung berdasarkan persentase tertentu dari pokok pinjaman. Hal ini sering dibandingkan dengan bai’ul-’inah dalam hal kesamaan nilai total margin yang harus dibayarkan. Namun, perbedaannya terletak pada kejelasan harga di mana harga dalam bai’ul-’inah ditetapkan oleh kedua belah pihak, sedangkan bunga flat ditentukan oleh pihak bank.
Meskipun demikian, ada argumen bahwa kejelasan harga dalam bunga flat sebenarnya sudah dapat diketahui berdasarkan ketentuan bunganya. Sehingga, perdebatan mengenai kejelasan harga masih menjadi perhatian dalam konteks ini.
Dengan demikian, pemahaman mendalam mengenai konsep bai’ul-’inah dan bunga flat dalam akad perkreditan syariah menjadi penting untuk memahami implikasinya dalam praktek keuangan Islam secara lebih komprehensif.