Dalam dunia jual beli, terdapat kasus di mana seseorang ingin menjual mobil yang masih dalam masa cicilan kepada saudaranya. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai hukum syariat terkait jenis transaksi ini.
Dalam konteks ini, perumpamaan budak mukâtab yang dijual oleh tuannya kepada orang lain menjadi perhatian. Budak mukâtab adalah budak yang menjalani akad cicilan untuk merdeka dari tuannya. Dalam kasus ini, tergambar bahwa pembelian budak cicilan dapat diterima oleh syariat.
Terdapat perbedaan pendapat antara qaul qadim dan qaul jadid dari Imam Syafi’i mengenai hukum jual beli budak cicilan. Meskipun terdapat perbedaan pendapat, namun pada dasarnya tidak ada perbedaan mendasar antara keduanya.
Dalam kasus jual beli mobil dengan cicilan, ada dua metode yang dapat dipahami. Pertama, penjual harus melunasi tanggungan kepada pihak dealer atau leasing sebelum melakukan transaksi dengan pembeli. Kedua, transaksi tersebut dapat dianggap sebagai akad hiwâlah (pengalihan utang), di mana pembeli memiliki opsi untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi.
Akhirnya, penting untuk memahami bahwa akad hiwâlah merupakan pengalihan tanggung jawab dari penjual ke pembeli. Barang akan menjadi milik pembeli setelah proses serah terima dilakukan. Dalam konteks ini, penjual tidak boleh melepaskan tanggung jawab kepemilikan kendaraan sebelum cicilan lunas.
Semoga tulisan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hukum jual beli mobil dengan cicilan menurut perspektif syariat Islam.