Arisan kurban adalah sebuah akad yang dilakukan secara bersama-sama antara dua orang atau lebih untuk mengadakan kurban. Dalam praktik ini, terdapat beberapa permasalahan fiqih yang sering muncul terkait dengan fluktuasi harga hewan kurban. Misalnya, jika harga kambing yang telah disepakati mengalami kenaikan atau penurunan, bagaimana seharusnya hal tersebut ditangani?

Pendapat pertama menekankan bahwa dalam akad arisan, objek utang yang harus dikembalikan adalah uang. Sehingga, jika terjadi lonjakan harga kambing, pihak yang menerima arisan bertanggung jawab untuk menambah selisihnya. Sebaliknya, jika harga turun, pihak yang mendapat undian akan menerima kembalian. Pendapat ini didasarkan pada prinsip bahwa akad arisan dilakukan dengan menyetorkan uang.

Sementara itu, pendapat kedua menyatakan bahwa objek utang sebenarnya adalah “hewan kurban” bukan uang. Hal ini berarti bahwa peserta arisan seharusnya memastikan ketersediaan hewan kurban yang memenuhi syarat setiap tahunnya. Jika hewan kurban menjadi objek utang, maka pengembalian harus dilakukan dengan hewan yang setara, sesuai dengan karakteristik dan kesepakatan awal.

Dalam konteks ini, fleksibilitas besaran setoran dalam arisan kurban menjadi penting untuk menyesuaikan dengan fluktuasi harga hewan. Dengan demikian, apapun penambahan atau pengurangan nilai uang yang disetorkan tidak harus secara langsung menimbulkan kewajiban tambahan atau pengembalian. Prinsip utama adalah mewujudkan adanya hewan kurban yang siap untuk disembelih.

Dengan demikian, pemahaman akan hakikat dari akad arisan kurban menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan fiqih yang muncul akibat fluktuasi harga. Terlepas dari perbedaan pendapat, esensi dari arisan kurban adalah kolaborasi dalam memastikan kelancaran ibadah kurban dan kebersamaan dalam menjalankan kewajiban agama.