Penggabungan antara akad jual beli dan akad ijarah (sewa) seringkali menimbulkan pertanyaan dalam muamalah syariah. Bagaimana jika terjadi situasi di mana seseorang mengatakan, “Aku jual rumah ini padamu, tapi sebelumnya sewa dulu sebulan!”?

Menurut pandangan ulama Mazhab Hanbali, penggabungan akad semacam ini dianggap batal baik dari segi akad jual beli maupun akad sewanya. Al-Bahûty menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh perpindahan kepemilikan yang terjadi dalam jual beli. Pemilik tidak mungkin menyewakan barang yang dimilikinya kepada dirinya sendiri.

Namun, ada pandangan lain dari ulama yang menyatakan bahwa kedua akad tersebut bisa berlaku jika dilakukan pada dua objek yang berbeda dengan nilai tukar yang digabungkan. Misalnya, satu rumah disewakan sementara rumah lainnya dijual.

Ada juga pandangan ulama yang memperbolehkan penggabungan akad ini asalkan ada pengecualian sewa menyewa dari jual beli. Misalnya, jika manfaat rumah masih disewakan selama satu bulan sebelum terjadi jual beli, maka hal tersebut dianggap sah.

Untuk menjaga agar kedua akad ini tidak saling menafikan, disarankan agar dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda. Hal ini memungkinkan hilangnya saling menegaskan antara keduanya sehingga penggabungan akad ini dapat diperbolehkan.

Dalam hal ini, penting untuk memahami kaidah tafrîq al-shafqah (memisahkan objek transaksi) agar kedua akad tersebut dapat berlangsung sesuai dengan syariah. Berkumpulnya dua akad yang berbeda hukumnya dalam satu tempat transaksi, harga, dan waktu yang sama dapat diperbolehkan jika waktunya berbeda.

Dengan demikian, penting bagi pelaku transaksi untuk memperhatikan ketentuan tersebut agar penggabungan antara akad jual beli dan ijarah dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Saling menghormati ketentuan syariah akan membantu menjaga validitas transaksi dan menghindari masalah di kemudian hari.