Pernahkah Anda mengalami situasi di mana Anda membeli barang hanya berdasarkan sampel yang diperlihatkan oleh penjual? Hal ini sering terjadi dalam berbagai transaksi, baik dalam pembelian pakaian, elektronik, buku, maupun barang lainnya. Namun, apakah jual beli dengan menggunakan sampel ini sesuai dengan hukum dalam pandangan fiqih Islam?
Menurut pandangan ulama fiqih, terdapat perbedaan pendapat mengenai keabsahan jual beli dengan sampel. Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah menganggapnya mutlak boleh dilakukan, sementara ulama Syafiiyah membaginya menjadi dua kategori: bisa batal atau sah tergantung pada kondisi barang yang diwakilinya. Di sisi lain, kalangan Hanabilah menyatakan bahwa jual beli dengan sampel tidak sah, namun dengan catatan tertentu.
Alasan di balik kebolehan atau ketidakbolehan jual beli dengan sampel ini terletak pada aspek ‘urf (tradisi) dan kehati-hatian dalam menghindari kemungkinan terjadinya kecurangan yang merugikan salah satu pihak. Ketiga ulama mazhab yang pertama mensyaratkan bahwa barang yang diambil sampelnya harus bersifat homogen (sejenis), sedangkan jika barang bersifat heterogen dan bercampur, maka jual beli tersebut dianggap tidak sah.
Penting untuk memahami pandangan ulama fiqih dalam konteks jual beli dengan sampel agar transaksi yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Masing-masing mazhab memiliki landasan hukum dan pertimbangan tersendiri dalam menetapkan keabsahan transaksi ini. Dalam prakteknya, pembeli juga memiliki hak untuk memutuskan apakah akan melanjutkan atau membatalkan jual beli jika terdapat penyimpangan dari sampel yang ditunjukkan.
Dengan demikian, pemahaman yang mendalam mengenai hukum jual beli dengan sampel menurut perspektif fiqih Islam dapat membantu kita dalam menjalankan transaksi sehari-hari secara lebih berkesadaran dan sesuai dengan ajaran agama.