Serangkaian permasalahan seringkali muncul tanpa diduga. Ketika kecelakaan terjadi, bertanggung jawablah untuk mengganti kerugian yang terjadi. Sebagai seorang Muslim, menghadapi kenyataan dan melakukan ganti rugi adalah langkah yang diperlukan. Namun, bagaimana sebenarnya aturan dalam Islam terkait dengan ganti rugi?
Dalam perspektif ekonomi syariah, ganti rugi dikenal sebagai ‘ta’widl’. Hal ini merupakan upaya untuk menutup kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran atau kesalahan. Al-Qur’an sendiri memberikan panduan terkait dengan ganti rugi, di mana jika seseorang melakukan pelanggaran, maka lawanlah dengan semisal pelanggaran yang dilakukan. Prinsip ini juga mencakup konsep bahwa tidak diperkenankan untuk merugikan diri sendiri ataupun orang lain.
Dalam menetapkan besaran ganti rugi, beberapa hal perlu diperhatikan. Ganti rugi hanya berlaku untuk kerugian yang dapat diukur secara riil dan dapat dinominalkan. Misalnya, kerugian material yang dapat dihitung nilai secara jelas seperti biaya perobatan akibat kecelakaan. Kerugian non-materiil yang bersifat abstrak atau tidak dapat dinilai secara riil tidak termasuk dalam hal yang harus diganti rugi.
Besaran ganti rugi haruslah sesuai dengan nilai kerugian yang terjadi dan tidak boleh lebih besar dari kerugian yang sebenarnya. Ganti rugi ini hanya dapat dilakukan dalam akad-akad yang sesuai dengan syariat Islam seperti mudharabah, murabahah, dan ijarah. Akad-akad yang bertentangan dengan syariat seperti perjudian atau korupsi tidak memenuhi syarat untuk dilakukan ganti rugi.
Dalam penentuan antara ganti rugi dan denda, perlu dipahami bahwa denda diterapkan berdasarkan putusan kualitatif sedangkan ganti rugi berdasarkan ketentuan yang dapat diukur secara kuantitatif. Oleh karena itu, pemahaman yang jelas terhadap konsep ganti rugi dalam ekonomi syariah akan membantu menjaga keadilan dan ketertiban dalam masyarakat.