Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita dihadapkan pada perselisihan terkait utang piutang. Tuduhan mengenai utang bisa menjadi sumber konflik antara pihak-pihak yang terlibat. Namun, dalam pandangan syariat Islam, bagaimana seharusnya kita mengatur penyelesaian masalah ini?
Salah satu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan bahwa klaim seseorang tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tetapi memerlukan bukti yang kuat. Baik pihak yang menuduh maupun yang tertuduh memiliki tanggung jawab untuk membuktikan klaim atau mengakui tuduhan.
Dalam situasi di mana terjadi perselisihan terkait utang piutang, ada dua kondisi umum yang sering terjadi. Pertama, ketika kedua belah pihak tidak sepakat mengenai adanya transaksi utang. Dalam hal ini, klaim dari pihak yang menuntut harus didukung oleh bukti konkret seperti catatan tertulis atau saksi adil.
Kedua, ketika kedua belah pihak sepakat adanya utang tapi berbeda pendapat mengenai pelunasannya. Jika pihak yang menuduh memiliki bukti kuat dan pihak yang didakwa tidak dapat membuktikan pelunasannya, maka yang dibenarkan adalah pihak yang menuduh.
Prinsip utama dalam penyelesaian perselisihan utang adalah bahwa bukti harus menjadi landasan utama. Tuduhan baru dapat dipertimbangkan jika didukung oleh bukti yang kuat atau pengakuan dari pihak tertuduh. Jika keduanya memiliki bukti kuat, maka keputusan didasarkan pada bukti terbebasnya utang.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk bijaksana dalam mengelola perselisihan terkait utang piutang sesuai dengan ajaran agama. Jika terjadi ketidaksepakatan, sebaiknya masalah tersebut diselesaikan melalui jalur hukum atau pengadilan agar perselisihan dapat terselesaikan dengan adil dan bijaksana.