Di Indonesia, terdapat fenomena yang menyedihkan di mana penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda seringkali mengalami penolakan saat mencoba masuk ke masjid. Beberapa pengurus masjid berdalih bahwa kursi roda dapat membawa najis dan mengganggu kesucian masjid. Kontroversi pun muncul di masyarakat terkait isu diskriminasi terhadap kelompok berkebutuhan khusus.
Bagaimana sebenarnya hukum Islam menangani permasalahan ini? Ada dua isu penting yang perlu dibahas. Pertama, bagaimana Islam memperlakukan kaum difabel atau penyandang disabilitas? Kedua, bagaimana status kesucian kursi roda dan bagaimana kita seharusnya menilainya?
Islam tidak melihat penyandang disabilitas secara negatif. Mereka dianggap sebagai ujian, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain sekitar mereka. Rasulullah sendiri mengajarkan untuk membantu orang-orang lemah di antara kita. Dalam perspektif Islam, menghargai penyandang disabilitas sama dengan menghargai ciptaan Allah.
Tentang kesucian kursi roda, prinsip hukumnya adalah bahwa sesuatu dianggap suci selama tidak ada bukti meyakinkan sebaliknya. Jika terdapat keraguan atau simpang siur, maka status hukumnya tetap suci. Bahkan dalam kondisi tertentu seperti lumpur di jalan, Islam memberikan toleransi atas hal-hal yang sulit dihindari.
Sikap bijak yang seharusnya dilakukan adalah memberikan kelonggaran kepada penyandang disabilitas pengguna kursi roda dari aturan yang bisa menyulitkan mereka. Pengurus masjid sebaiknya menyediakan fasilitas khusus untuk mereka agar akses ibadah maksimal dapat terpenuhi. Dengan demikian, masjid menjadi ramah bagi semua umat, termasuk bagi kaum difabel.
Semua manusia diciptakan dalam beragam bentuk dan keunikan oleh Allah. Keberagaman ini seharusnya menjadi titik kuat kita dalam saling mendukung dan membantu satu sama lain. Dalam memperlakukan penyandang disabilitas, penting untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan memberikan perlakuan yang pantas dan layak bagi mereka.