Terkadang, perbedaan pandangan antara para ulama terkemuka seperti Imam al-Ghazali dan Ibn Rusyd menghasilkan diskusi yang menarik dalam khazanah keilmuan Islam klasik. Meskipun berbeda generasi, kritikan Ghazali terhadap filsafat dibantah dengan tajam oleh Ibn Rusyd, namun dengan penuh apresiasi.
Salah satu contoh yang menarik adalah dalam karya monumental Ghazali, kitab al-Mustashfa, yang ternyata mendapat ringkasan dari Ibn Rusyd. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Rusyd tidak hanya sekadar ‘hater’ dari al-Ghazali, melainkan tetap kritis namun juga menghargai kontribusi Ghazali.
Perbedaan pendapat antara keduanya terutama terlihat dalam pembahasan definisi hukum. Al-Ghazali menggunakan kata ‘indana’ (menurut kami), sedangkan Ibn Rusyd memodifikasi menjadi ‘inda Ahlis sunnah’ (menurut Ahlussunnah) untuk memperjelas audiens yang dituju.
Selain dari meringkas karya-karya besar, keilmuan klasik Islam juga dikenal dengan tradisi memberi syarh (penjelasan) terhadap teks asli. Hal ini tercermin dalam berbagai karya seperti Nihayah as-Sul karya Imam Isnawi yang merupakan syarh dari kitab al-Baidhawi yang meringkas al-Mahsul karya ar-Razi.
Tradisi memberikan penjelasan tidak berhenti di situ, melainkan seringkali diperluas dengan eksplorasi lebih lanjut dalam bentuk hasyiyah. Dalam bidang ushul al-fiqh misalnya, kitab al-Waraqat karya Imam al-Haramain diberi syarh oleh al-Mahalli dan kemudian dihasyiyahkan oleh Syekh Ahmad ad-Dimyathi.
Keberlanjutan dan kedalaman ilmu dalam tradisi keilmuan klasik Islam merupakan inti dari proses belajar. Sebagaimana belajar biologi di tingkat SMP akan berbeda dengan di pascasarjana, belajar keilmuan Islam pun membutuhkan disiplin dan keseriusan yang sama. Medsos boleh menjadi sarana modern, namun tradisi belajar dengan tertib dan penuh penjelasan hendaknya tetap dijaga agar pengetahuan kita tidak sekadar permukaan.