Cryptocurrency atau mata uang digital sering dianggap sebagai komoditas modern yang menarik. Dalam perspektif fiqih, pertimbangan utamanya adalah mengenai nilai manfaat dari produk tersebut. Pertanyaannya, apakah cryptocurrency pantas diakui sebagai harta yang bermanfaat dan dapat diperdagangkan?
Salah satu syarat penting dalam perdagangan komoditas adalah adanya nilai manfaat. Tanpa nilai manfaat, sebuah barang tidak dapat dianggap sebagai harta yang dapat diperdagangkan. Dalam konteks fiqih, ketiadaan manfaat dapat menjadi alasan pembatalan dalam sebuah akad pertukaran.
Untuk memahami nilai manfaat dari cryptocurrency, kita perlu melihat bagaimana cryptocurrency digunakan dan dihasilkan. Pertama, kita melihat bagaimana cryptocurrency digunakan, termasuk konversinya ke mata uang konvensional.
Setelah cryptocurrency dihasilkan, ia dapat ditransfer dari satu blockchain ke blockchain lainnya atau dari satu individu ke individu lainnya. Saat proses transfer ini terjadi, cryptocurrency sudah memiliki nilai. Nilainya bergantung pada kursnya terhadap mata uang seperti USD atau IDR, tergantung pada negara di mana cryptocurrency tersebut akan digunakan. Misalnya, jika digunakan di Indonesia, cryptocurrency bisa dikonversi ke rupiah. Konversi ini terjadi melalui proses pembelian, di mana harga beli cryptocurrency dipengaruhi oleh kondisi pasar. Ketika pasar mengakui cryptocurrency sebagai harta yang bernilai dan media tukar yang sah, nilai cryptocurrency tersebut akan menguat. Namun, jika pasar kehilangan kepercayaan terhadap cryptocurrency sebagai harta atau media tukar, nilainya akan turun.
Kedua, kita perlu memahami bagaimana cryptocurrency dihasilkan, yang berarti kita harus mengkaji teori produksi yang digunakan. Salah satu teori produksi yang relevan dalam ekonomi Islam adalah teori produksi Baqir al Shadr. Teori produksi ini dihargai karena dianggap realistis dan sistematis. Menurut Baqir al-Shadr, produksi melibatkan dua aspek: aspek objektif yang melibatkan sarana produksi, sumber daya alam yang digunakan, dan tenaga kerja yang diperlukan; serta aspek subjektif yang melibatkan motivasi psikologis, tujuan produksi, dan penilaian produksi berdasarkan konsep keadilan.
Tujuan produksi dalam ekonomi Islam adalah untuk menghasilkan manfaat guna memenuhi kebutuhan manusia. Dari definisi teori produksi ini, produksi cryptocurrency juga melibatkan dua aspek. Aspek objektif mencakup penggunaan komputer jaringan, algoritma sebagai dasar kriptografi, dan proses penambangan cryptocurrency melalui pemecahan sandi kriptografi. Proses pemecahan ini dilakukan secara otomatis oleh komputer melalui jaringan peer-to-peer tanpa melibatkan aktivitas manusia secara langsung.
Aspek subjektif dari produksi cryptocurrency mencakup motif psikologis dari penciptaan cryptocurrency serta tujuan yang ingin dicapai. Salah satu motif utama adalah menciptakan alat baru untuk transaksi jual-beli. Namun, potensi cryptocurrency untuk diproduksi oleh siapa pun menimbulkan masalah legalitas dan potensi inflasi jika tidak diatur dengan baik.
Dalam konteks transaksi peer-to-peer, cryptocurrency dapat mempersingkat proses transaksi antar individu. Transaksi semacam ini memungkinkan individu seperti A dan B untuk saling bertransaksi menggunakan cryptocurrency tanpa perlu melalui perantara mata uang konvensional.
Pertanyaan krusial yang perlu dijawab adalah apakah cryptocurrency memenuhi syarat sebagai harta yang memiliki nilai manfaat dan dapat dikuasai. Dari penelusuran yang dilakukan, Bitcoin merupakan salah satu cryptocurrency dengan jumlah terbatas, sementara Ethereum diketahui tidak memiliki batasan jumlah yang pasti. Untuk cryptocurrency lainnya, penelitian lebih lanjut masih diperlukan.
Dalam kesimpulan, penting untuk memahami nilai manfaat dan proses produksi cryptocurrency dalam konteks ekonomi Islam agar dapat menilai apakah cryptocurrency layak diakui sebagai harta yang bermanfaat dan dapat ditransaksikan. Semoga informasi ini bermanfaat untuk memperdalam pemahaman kita tentang dunia cryptocurrency.