Sajadah, yang secara etimologi berarti tempat bersujud, merupakan benda yang digunakan sebagai alas dalam menjalankan ibadah shalat. Seiring perkembangan zaman, sajadah mengalami berbagai bentuk, ukuran, bahan, dan hiasan. Bahkan kini, terdapat sajadah dengan aksesoris yang mampu bersinar, namun hal ini menimbulkan pertanyaan baru.
Meskipun sajadah yang bersinar tersebut pada dasarnya masih suci dan dapat digunakan untuk shalat, namun penggunaannya dapat menjadi makruh jika mengganggu kekhusyu’an dalam ibadah. Shalat sendiri adalah bentuk ibadah untuk menyembah Allah dengan penuh khusyuk dan merendahkan diri di hadapan-Nya.
Sebagaimana dilakukan oleh jamaah yang shalat di Masjidil Haram Mekah dan Masjid Nabawi Madinah, mereka melaksanakan shalat di atas lantai tanpa sajadah sebagai bentuk tawadhu’ dan kesederhanaan dalam beribadah kepada Allah.
Sejarah mencatat bahwa meskipun Rasulullah pernah shalat di atas humrah (serban) beberapa kali, hal tersebut kemungkinan karena adanya udzur syar’i yang membuat beliau melakukannya.
Dalam hal ini, penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa kesederhanaan dan kekhusyu’an dalam beribadah memiliki nilai yang tinggi. Sebuah sajadah sederhana tanpa aksesoris berlebihan juga tetap dapat menjadi tempat yang layak untuk menjalankan ibadah shalat dengan penuh khusyuk dan tawadhu’.
Berdasarkan penjelasan dari kitab Al-Fatawa Imam Izzuddin bin Abdussalam, shalat yang dilakukan dengan kesederhanaan dan khusyuk akan lebih mendekatkan diri kepada Allah tanpa terganggu oleh hiasan-hiasan berlebihan.