Dalam Ushul Fiqih, terdapat perbedaan antara konsep haram dan najis yang perlu dipahami dengan jelas. Haram merujuk pada status hukum suatu benda atau tindakan menurut syariat Islam, sementara najis berkaitan dengan sifat kebersihan atau ketidakbersihan benda itu sendiri.
Haram dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu pertama, karena memudharatkan; kedua, karena dihormati; dan ketiga, karena sifat najis. Sebagai contoh, memakan paku halus diharamkan karena dapat membahayakan kesehatan meskipun paku tersebut tidak najis.
Di sisi lain, najis dapat terjadi pada suatu benda berdasarkan sifatnya, seperti daging babi yang diharamkan karena sifat najisnya. Meskipun demikian, sifat najis suatu benda dapat diubah sesuai dengan kaidah fiqih, seperti baju yang terkena ompol bayi yang dapat menjadi bersih setelah dicuci.
Haram dan najis memiliki karakteristik yang berbeda. Keharaman suatu benda tetap berlaku sesuai dengan ketentuan syariat dan tidak dapat diubah, sementara sifat najis suatu benda bisa dihilangkan sesuai dengan aturan fiqih. Misalnya, daging babi tetap haram meskipun dimasak dengan cara apapun.
Penting untuk memahami batasan antara haram dan najis. Haram adalah kebalikan dari wajib, di mana meninggalkan sesuatu yang diharamkan mendapat pahala karena taat pada perintah, sedangkan melakukannya akan mendapat siksa.
Sedangkan batasan najis adalah segala sesuatu yang dilarang digunakan secara mutlak dalam keadaan normal tanpa alasan penghormatan, kekotoran, atau bahaya terhadap tubuh atau akal. Perbedaan konsep ini memperkaya pemahaman kita tentang hukum syariat Islam secara umum.