Shalat merupakan ibadah yang dapat dilakukan secara berjamaah maupun sendirian. Dalam shalat berjamaah, minimal terdiri dari dua orang di mana satu menjadi imam dan yang lainnya sebagai makmum. Namun, bagaimana jika sang imam tiba-tiba terkena hal yang membatalkan shalat? Apakah shalat makmum juga menjadi batal? Lalu, apakah shalat tersebut harus diteruskan tanpa imam?
Shalat makmum tidak menjadi batal karena batalnya shalat sang imam. Oleh karena itu, saat keadaan tersebut terjadi, makmum tidak boleh menghentikan shalatnya. Makmum memiliki dua pilihan. Pertama, makmum dapat melanjutkan shalat dengan niat mufaraqah dari imam, menjadikan shalatnya terpisah dari imam yang batal shalatnya. Kedua, makmum dapat menyempurnakan shalat sampai selesai secara berjamaah.
Jika memilih opsi kedua, maka istikhlaf harus dilakukan. Istikhlaf adalah penunjukkan pengganti imam dengan imam lain ketika imam pertama tidak bisa melanjutkan shalatnya. Proses ini dapat dilakukan dengan imam menunjuk pengganti atau para makmum menunjuk pengganti. Penunjukan pengganti harus dilakukan secepat mungkin setelah imam batal.
Lebih disarankan agar istikhlaf dilakukan oleh pihak makmum. Jika terjadi perbedaan penunjukan pengganti antara imam dan makmum, maka penunjukan yang dilakukan oleh makmum lebih diutamakan. Hal ini mencerminkan nilai demokrasi yang terdapat dalam fiqih.
Selain dalam shalat Jum’at, istikhlaf hukumnya sunnah dalam shalat berjamaah karena lebih utama daripada shalat sendirian. Namun, dalam shalat Jum’at, istikhlaf menjadi wajib karena syarat sahnya shalat Jum’at adalah dilakukan secara berjamaah.
Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU
Catatan: Naskah ini pertama kali terbit di NU Online pada Jumat, 09 Desember 2011 pukul 18:12. Redaksi mengunggahnya ulang dengan sedikit penyuntingan.