Shalat sunnah (nawafil) memiliki peran penting dalam Islam sebagai “suplemen” bagi shalat wajib. Para ulama menggambarkan shalat sunnah seperti makanan tambahan yang mengandung nutrisi essensial untuk kesehatan jasmani dan rohani.
Dalam Islam di Nusantara, terdapat pengaruh dari budaya lokal yang beragam, menciptakan variasi dalam pelaksanaan ibadah, termasuk shalat sunnah. Shalat sunnah tidak hanya mencakup yang mengiringi shalat fardhu, tetapi juga yang dilakukan secara mandiri pada waktu-waktu tertentu.
Hal ini menimbulkan kebutuhan akan penjelasan yang jelas agar tidak menimbulkan perpecahan di antara umat. Shalat sunnah lokal seringkali merupakan bentuk shalat sunnah muakkadah yang dilakukan dengan konteks tertentu.
Sebagai contoh, shalat Rebo Wekasan atau shalat Nishfu Sya’ban dapat merujuk pada shalat hajat atau shalat sunnah muthlaq yang dilakukan dengan fokus doa tertentu pada waktu dan konteks tertentu. Begitu pula dengan shalat hadiyah untuk mayit yang sebenarnya merupakan bentuk shalat hajat dengan doa ampunan untuk orang yang meninggal.
Meskipun demikian, sebagian ulama tetap memandang beberapa shalat sunnah lokal sebagai bagian dari ibadah dalam Islam. Hal ini menunjukkan keragaman pandangan dalam mengenai praktik ibadah.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa beberapa jenis shalat sunnah lokal tersebut termasuk dalam kategori shalat ghairu masyru’ah fis syar’i, yaitu shalat yang tidak secara khusus dianjurkan oleh syariat. Wallahu a’lam.