Zakat merupakan ibadah maliyah ijtima’iyah yang memiliki peran penting dalam syariat Islam. Selain sebagai sarana untuk membersihkan harta dan jiwa, zakat juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang digunakan untuk mengurangi kemiskinan.

Dalam praktiknya, zakat terbagi menjadi dua jenis utama, yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal wajib dikeluarkan sebesar 2,5% dari harta kekayaan, sedangkan zakat fitrah wajib ditunaikan setiap muslim pada bulan Ramadhan. Namun, penting untuk menyadari bahwa pemberian zakat yang bersifat konsumtif cenderung hanya memenuhi kebutuhan jangka pendek.

Untuk mengatasi hal ini, konsep zakat produktif muncul sebagai bentuk pendayagunaan zakat yang lebih berkelanjutan. Zakat produktif bukanlah jenis zakat baru, melainkan strategi untuk memanfaatkan zakat secara produktif dengan memberikan modal usaha kepada mustahiq. Dengan pendekatan ini, mustahiq diharapkan dapat mengembangkan usahanya sehingga terbebas dari ketergantungan zakat.

Pendayagunaan zakat produktif juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi para mustahiq. Menurut Imam Nawawi, pemberian zakat harus mampu mengangkat penerima zakat dari kemiskinan menuju taraf hidup yang layak. Hal ini dilakukan agar penerima zakat dapat mandiri dan tidak terus bergantung pada bantuan dari orang lain.

Di sisi lain, Bahtsul Masail Diniyah Maudhuiyyah dalam Muktamar NU ke-28 menekankan pentingnya persyaratan bahwa calon mustahiq harus memahami dan memberikan izin atas penggunaan zakat secara produktif. Dengan demikian, pendayagunaan zakat produktif tidak hanya memberikan manfaat ekonomi langsung, tetapi juga memberdayakan para penerima zakat untuk meraih kemandirian secara berkelanjutan.

Melalui pendayagunaan zakat produktif, diharapkan dampak positif zakat dapat dirasakan secara lebih luas dalam meningkatkan kesejahteraan umat Islam secara keseluruhan.