Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 30 Syawal 1401, perdebatan seputar hukum menyalurkan zakat kepada lembaga sosial seperti masjid, madrasah, panti asuhan, yayasan sosial-keagamaan, dan lain-lain menjadi sorotan utama. Dua pandangan yang berbeda muncul dalam forum tersebut.

Pendapat pertama mengutip ajaran dasar dari empat imam madzab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) sebagaimana tercatat dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 106 dan Al-Mizanul Kubra bab qismus shadaqah. Pendapat ini menegaskan bahwa zakat seharusnya tidak dialokasikan untuk lembaga sosial seperti membangun masjid atau mengurus orang mati. Masjid dianggap tidak berhak menerima zakat karena tujuannya seharusnya hanya untuk individu Muslim yang merdeka.

Di sisi lain, pendapat kedua mendukung penyaluran zakat ke sektor sosial yang dianggap “positif” seperti pembangunan masjid, madrasah, dan pelayanan kemanusiaan lainnya. Pandangan ini diperkuat oleh fatwa Syekh Ali al-Maliki dalam kitab Qurratul ‘Ain halaman 73 yang menyatakan bahwa praktik zaman sekarang memperbolehkan penyaluran zakat untuk kepentingan sosial.

Para peserta Munas juga merujuk pada pendapat Imam Al-Qaffal yang memperbolehkan penyaluran zakat ke berbagai sektor sosial dengan argumen bahwa konsep “fi sabilillah” atau “di jalan Allah” dalam Al-Qur’an mencakup segala bentuk kegiatan sosial yang bermanfaat bagi umat. Bahkan, Syeikh Ali al-Maliki menyatakan bahwa penyaluran zakat untuk kepentingan sosial dapat menjadi kewajiban.

Keputusan dalam Munas menegaskan bahwa konsep “sabilillah” sebagai salah satu asnaf penerima zakat mencakup beragam sektor sosial seperti pemakaman, pembangunan infrastruktur, perbaikan masjid, dan persiapan prajurit yang akan berperang. Hal ini didukung oleh sebagian ahli fikih dan menjadi pedoman bagi para ulama dalam memberikan fatwa.

Teks ini pertama kali diterbitkan di NU Online pada Senin, 28 Mei 2007 pukul 06:47 dan telah diunggah ulang setelah dilakukan perbaikan minor.